PP
37 tahun 2010 tentang Bendungan merupakan aturan pelaksanaan Pasal 22,
Pasal 34, dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan
memiliki latar belakang pemikiran bahwan untuk menyimpan air yang
berlebih pada saat musim penghujan agar dapat dimanfaatkan guna
pemenuhan kebutuhan air dan daya air pada waktu diperlukan, serta
mengendalikan daya rusak air maka perlu membentuk waduk yang dapat
menampung air.
PP 37 tahun 2010 tentang Bendungan menjelasakan
bahwa Bendungan adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu,
beton, dan/atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan
menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan menampung limbah
tambang (tailing), atau menampung lumpur sehingga terbentuk
waduk. Waduk adalah wadah buatan yang terbentuk sebagai akibat
dibangunnya bendungan. Pembangunan Bendungan juga bisa gagal maka
dikenal juga bahwa Kegagalan bendungan adalah keruntuhan sebagian atau
seluruh bendungan atau bangunan pelengkapnya dan/atau kerusakan yang
mengakibatkan tidak berfungsinya bendungan sehingga Pengamanan bendungan
adalah kegiatan yang secara sistematis dilakukan untuk mencegah atau
menghindari kemungkinan terjadinya kegagalan bendungan.
Untuk
mengurangi risiko kegagalan bendungan diperlukan pengaturan keamanan
bendungan. Berdasarkan pertimbangan keamanan bendungan, risiko kegagalan
bendungan meningkat dengan makin tingginya bendungan. Oleh karena itu
peraturan pemerintah ini meliputi pengaturan:
untuk
bendungan dengan tinggi 15 (lima belas) meter sebagai batas terendah
untuk memberlakukan aturan, terutama yang berkaitan dengan keamanan
bendungan;untuk bendungan dengan tinggi 10 (sepuluh)
sampai dengan 15 (lima belas) meter juga dianggap mempunyai risiko
kegagalan yang tinggi apabila panjang puncak bendungan paling sedikit
500 (lima ratus) meter atau volume tampungan waduknya paling sedikit
500.000 (lima ratus ribu) meter kubik atau debit banjir maksimal yang
diperhitungkan paling sedikit 1.000 (seribu) meter kubik/detik; danbendungan
yang mempunyai kesulitan khusus pada fondasi dan/atau yang didesain
dengan teknologi baru yaitu teknologi yang belum pernah diterapkan pada
pembangunan bendungan di Indonesia, dan/atau mempunyai kelas bahaya
tinggi.
Pengawasan
atas penyelenggaraan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan
beserta waduknya ditujukan untuk menjamin tercapainya kesesuaian antara
pelaksanaan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta
waduknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Masyarakat dalam pembangunan bendungan dapat memiliki peran untuk mewujudkan:
Kedudukan yang setara antarpihak yang berkepentingan;
Transparansi dalam proses pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya; dan
Rasa memiliki dan rasa tanggung jawab guna keberlanjutan fungsi bendungan beserta waduknya.
Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan ditetapkan Presiden
Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 18 Februari 2010 di
Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan
diundangkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar pada
tanggal 18 Februari 2010 di Jakarta.
Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan ditempatkan pada
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 45. Penjelasan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan ditempatkan
pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5117. Agar setiap
orang mengetahuinya.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan
Latar Belakang
Pertimbangan PP 37 tahun 2010 tentang Bendungan, adalah
bahwa
untuk menyimpan air yang berlebih pada saat musim penghujan agar dapat
dimanfaatkan guna pemenuhan kebutuhan air dan daya air pada waktu
diperlukan, serta mengendalikan daya rusak air sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22, Pasal 34, dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air, perlu membentuk waduk yang dapat menampung air;bahwa waduk selain berfungsi menampung air dapat pula untuk menampung limbah tambang (tailing) atau menampung lumpur dalam rangka menjaga keamanan serta keselamatan lingkungan hidup;
bahwa untuk membentuk waduk yang dapat menampung air, limbah tambang (tailing), atau lumpur, perlu membangun bendungan;
bahwa
untuk membangun bendungan yang secara teknis dapat berfungsi sesuai
dengan tujuan pembangunan sekaligus dapat menjamin keamanan bendungan,
perlu pengaturan mengenai bendungan;bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Bendungan;
Dasar Hukum
Dasar hukum PP 37 tahun 2010 tentang Bendungan, adalah:
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4377);
Penjelasan Umum PP Bendungan
Untuk
meningkatkan kemanfaatan fungsi sumber daya air, pengawetan air, dan
pengendalian daya rusak air dapat dibangun bendungan sehingga terbentuk
waduk guna pemenuhan berbagai keperluan. Pembangunan bendungan dapat
ditujukan untuk pengelolaan sumber daya air dan untuk penampungan limbah
tambang (tailing) atau penampungan lumpur. Pembangunan
bendungan dilakukan dengan memperhatikan kondisi sumber daya air,
keberadaan masyarakat, benda bersejarah, daya dukung lingkungan hidup,
dan rencana tata ruang wilayah. Dalam hal bendungan untuk pengelolaan
sumber daya air harus didasarkan pula pada rencana pengelolaan sumber
daya air pada wilayah sungai.
Pembangunan bendungan untuk
pengelolaan sumber daya air ditujukan untuk penyediaan air baku bagi
rumah tangga, perkotaan, industri, penyediaan air irigasi, pengendalian
banjir, penyediaan daya air untuk pembangkit listrik tenaga air, dan
untuk keperluan lainnya misalnya pengisian kembali air tanah daerah
sekitar waduk, konservasi air, konservasi daerah sekitar waduk, serta
untuk prasarana perhubungan, perikanan, dan pariwisata. Sedangkan
pembangunan bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur ditujukan untuk penyediaan waduk guna penampungan limbah yaitu limbah tambang (tailing)
atau untuk penampungan lumpur yang mengalir. Lumpur yang diatur dalam
peraturan pemerintah ini adalah lumpur akibat bencana, misalnya lumpur
panas Sidoarjo.
Pembangunan
bendungan mempunyai risiko tinggi berupa kemungkinan terjadinya
kegagalan bendungan yaitu keruntuhan sebagian atau seluruh bendungan
atau bangunan pelengkapnya. Selain itu, pembangunan bendungan juga
mempunyai potensi bahaya yang besar yang dapat mengancam keselamatan
masyarakat pada kawasan hilir bendungan. Keruntuhan bendungan dapat
disebabkan oleh kegagalan struktur antara lain terjadi longsoran,
kegagalan hidraulik yang mengakibatkan terjadinya peluapan air,
kegagalan operasi, dan terjadinya rembesan yang dapat mengganggu
kestabilan bendungan.
Untuk mengurangi risiko kegagalan bendungan
diperlukan pengaturan keamanan bendungan. Berdasarkan pertimbangan
keamanan bendungan, risiko kegagalan bendungan meningkat dengan makin
tingginya bendungan. Oleh karena itu peraturan pemerintah ini meliputi
pengaturan:
Untuk bendungan dengan tinggi 15
(lima belas) meter sebagai batas terendah untuk memberlakukan aturan,
terutama yang berkaitan dengan keamanan bendungan;Untuk
bendungan dengan tinggi 10 (sepuluh) sampai dengan 15 (lima belas) meter
juga dianggap mempunyai risiko kegagalan yang tinggi apabila panjang
puncak bendungan paling sedikit 500 (lima ratus) meter atau volume
tampungan waduknya paling sedikit 500.000 (lima ratus ribu) meter kubik
atau debit banjir maksimal yang diperhitungkan paling sedikit 1.000
(seribu) meter kubik/detik; danBendungan yang mempunyai
kesulitan khusus pada fondasi dan/atau yang didesain dengan teknologi
baru yaitu teknologi yang belum pernah diterapkan pada pembangunan
bendungan di Indonesia, dan/atau mempunyai kelas bahaya tinggi.
Pembangunan
bendungan memerlukan investasi yang besar yang harus dikelola secara
efisien terkait dengan kegiatan dalam pembangunan bendungan. Pengadaan
tanah untuk tapak bendungan dan daerah genangan waduk memerlukan
pembebasan kawasan yang relatif luas dan menyangkut keberlanjutan
kehidupan penduduk. Pemukiman kembali penduduk memerlukan perhatian
dalam aspek sosial dan ekonomi sehingga tidak menimbulkan kesenjangan
dengan penduduk setempat. Pembangunan bendungan perlu direncanakan
dengan cermat, dan dilaksanakan dengan baik, serta memerlukan peran dari
semua pemilik kepentingan.
Selanjutnya
terkait dengan pertimbangan keamanan bendungan, pembangunan bendungan
diselenggarakan dalam tahapan yang meliputi, persiapan pembangunan,
perencanaan pembangunan, pelaksanaan konstruksi, dan pengisian awal
waduk. Pembangunan bendungan yang telah selesai dilaksanakan,
dilanjutkan dengan pemanfaatan bendungan beserta waduknya sesuai dengan
tujuan pembangunan, dalam tahapan pengelolaan bendungan beserta waduknya
yang meliputi operasi dan pemeliharaan, kemungkinan perubahan bendungan
atau rehabilitasi bendungan, dan diakhiri dengan penghapusan fungsi
bendungan.
Untuk menghindari kemungkinan terjadi kegagalan
bendungan dilakukan penyelenggaraan keamanan bendungan dalam keseluruhan
tahapan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta
waduknya. Penyelenggara keamanan bendungan adalah instansi teknis
keamanan bendungan, unit pelaksana teknis bidang keamanan bendungan,
Pembangun bendungan, dan Pengelola bendungan.
Dalam rangka
mewujudkan ketertiban pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan
beserta waduknya, serta penyelenggaraan keamanan bendungan, diperlukan
instrumen pengendalian yang berupa izin dan persetujuan dalam tahapan
pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.
Keseluruhan izin dan persetujuan yang diperlukan meliputi izin
penggunaan sumber daya air, persetujuan prinsip pembangunan, persetujuan
desain, izin pelaksanaan konstruksi, izin pengisian awal waduk, izin
operasi bendungan, persetujuan desain perubahan atau persetujuan desain
rehabilitasi, izin perubahan bendungan atau izin rehabilitasi bendungan,
dan izin penghapusan fungsi bendungan.
Peraturan
pemerintah ini memuat pengaturan untuk terwujudnya tertib
penyelenggaraan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta
waduknya yang selaras dengan daya dukung lingkungan hidup, memenuhi
kaidah-kaidah kelayakan teknis dan ekonomis serta keamanan bendungan,
dalam rangka mengurangi dampak negatif aspek lingkungan hidup, dan
terjaganya keselamatan umum terkait kemungkinan terjadinya kegagalan
bendungan, dan dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya air serta
meningkatkan kemanfaatan fungsi sumber daya air, pengawetan air,
pengendalian daya rusak air, dan menjaga keamanan serta keselamatan
lingkungan hidup.
Isi PP tentang Bendungan
Berikut adalah isi Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan, bukan format asli:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BENDUNGAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Bendungan
adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton, dan/atau
pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air,
dapat pula dibangun untuk menahan dan menampung limbah tambang (tailing), atau menampung lumpur sehingga terbentuk waduk.Waduk adalah wadah buatan yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan.
Bangunan
pelengkap adalah bangunan berikut komponen dan fasilitasnya yang secara
fungsional menjadi satu kesatuan dengan bendungan.Kegagalan
bendungan adalah keruntuhan sebagian atau seluruh bendungan atau
bangunan pelengkapnya dan/atau kerusakan yang mengakibatkan tidak
berfungsinya bendungan.Pengamanan bendungan adalah
kegiatan yang secara sistematis dilakukan untuk mencegah atau
menghindari kemungkinan terjadinya kegagalan bendungan.Pemilik
bendungan adalah Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, atau badan usaha, yang bertanggung jawab atas
pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.Pembangun
bendungan adalah instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Pemilik
bendungan, badan usaha yang ditunjuk oleh Pemilik bendungan, atau
Pemilik bendungan untuk menyelenggarakan pembangunan bendungan.
Pengelola
bendungan adalah instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Pemilik
bendungan, badan usaha yang ditunjuk oleh Pemilik bendungan, atau
Pemilik bendungan untuk menyelenggarakan pengelolaan bendungan beserta
waduknya.Unit pengelola bendungan adalah unit yang
merupakan bagian dari Pengelola bendungan yang ditetapkan oleh Pemilik
bendungan untuk melaksanakan pengelolaan bendungan beserta waduknya.Instansi teknis keamanan bendungan adalah instansi yang bertugas membantu Menteri dalam penanganan keamanan bendungan.
Unit
pelaksana teknis bidang keamanan bendungan adalah unit yang dibentuk
untuk memberikan dukungan teknis kepada instansi teknis keamanan
bendungan.Pemerintah pusat, selanjutnya disebut
Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sumber daya air.
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung peri kehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
Dokumen
pengelolaan lingkungan hidup adalah dokumen yang berisi upaya
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang terdiri atas dokumen
analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau dokumen upaya pengelolaan
lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup.
Pasal 2
Pengaturan
bendungan dimaksudkan agar penyelenggaraan pembangunan bendungan dan
pengelolaan bendungan beserta waduknya dilaksanakan secara tertib dengan
memperhatikan daya dukung lingkungan hidup, kelayakan teknis, kelayakan
ekonomis, kelayakan lingkungan, dan keamanan bendungan.Pembangunan
bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan kemanfaatan fungsi
sumber daya air, pengawetan air, pengendalian daya rusak air, dan fungsi
pengamanan tampungan limbah tambang (tailing) atau tampungan lumpur.
Pasal 3
Ruang lingkup peraturan pemerintah ini meliputi pengaturan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.
Pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
bendungan dengan tinggi 15 (lima belas) meter atau lebih diukur dari dasar fondasi terdalam;
bendungan
dengan tinggi 10 (sepuluh) meter sampai dengan 15 (lima belas) meter
diukur dari dasar fondasi terdalam dengan ketentuan:panjang puncak bendungan paling sedikit 500 (lima ratus) meter;
daya tampung waduk paling sedikit 500.000 (lima ratus ribu) meter kubik; atau
debit banjir maksimal yang diperhitungkan paling sedikit 1.000 (seribu) meter kubik per detik; atau
bendungan
yang mempunyai kesulitan khusus pada fondasi atau bendungan yang
didesain menggunakan teknologi baru dan/atau bendungan yang mempunyai
kelas bahaya tinggi.
BAB II
PEMBANGUNAN BENDUNGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
Pembangunan bendungan dilakukan untuk pengelolaan sumber daya air.
Bendungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk penyediaan air baku,
penyediaan air irigasi, pengendalian banjir, dan/atau pembangkit
listrik tenaga air.
Pasal 5
Pembangunan bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing) dan penampungan lumpur mengikuti ketentuan dalam peraturan pemerintah ini.
Pasal 6
Instansi
pemerintah atau badan usaha dalam melaksanakan pembangunan bendungan
wajib menggunakan tenaga kerja yang memiliki keahlian dan keterampilan
di bidang bendungan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 7
Pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 meliputi tahapan:
persiapan pembangunan;
perencanaan pembangunan;
pelaksanaan konstruksi; dan
pengisian awal waduk.
Bagian Kedua
Persiapan Pembangunan
Paragraf 1
Umum
Pasal 8
Pembangunan
bendungan untuk pengelolaan sumber daya air disusun berdasarkan rencana
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.Dalam
hal rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang
bersangkutan belum ditetapkan, pembangunan bendungan disusun berdasarkan
ketersediaan dan kebutuhan air pada wilayah sungai dan rencana tata
ruang pada wilayah sungai yang bersangkutan.
Pasal 9
Dalam rangka pembangunan bendungan diperlukan izin penggunaan sumber daya air.
Bendungan penampung limbah tambang (tailing) yang tidak memerlukan sumber daya air dan bendungan penampung lumpur tidak memerlukan izin penggunaan sumber daya air.
Paragraf 2
Izin Penggunaan Sumber Daya Air
Pasal 10
Izin penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diberikan oleh:
Menteri
untuk penggunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,
wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;gubernur untuk penggunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; dan
bupati/walikota untuk penggunaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Izin penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan dari Pembangun bendungan.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi dokumen:
permohonan izin penggunaan sumber daya air;
identitas Pembangun bendungan; dan
izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan
teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa rekomendasi teknis
dari unit pelaksana teknis yang membidangi sumber daya air pada wilayah
sungai yang bersangkutan.
Pasal 11
Berdasarkan
permohonan izin penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (2) yang memenuhi kelengkapan persyaratan, dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima, Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya harus mengeluarkan keputusan
untuk memberikan izin atau menolak permohonan izin.Dalam
hal permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui,
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota memberikan izin penggunaan
sumber daya air.Dalam hal permohonan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditolak, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
harus menyampaikan alasan penolakan secara tertulis.
Pasal 12
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) paling sedikit memuat:
identitas Pembangun bendungan;
lokasi penggunaan sumber daya air;
maksud dan tujuan pembangunan dan pengelolaan bendungan;
jenis dan tipe bendungan yang akan dibangun;
volume air dan/atau jumlah daya air;
rencana penggunaan sumber daya air;
ketentuan hak dan kewajiban; dan
jangka waktu berlakunya izin.
Jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h dipertimbangkan
berdasarkan rencana keuangan investasi pembangunan bendungan dan
pengelolaan bendungan beserta waduknya.
Pasal 13
Jangka
waktu izin penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (1) huruf h dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan
secara tertulis paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum jangka waktu izin
berakhir.Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun
setelah mendapat izin penggunaan sumber daya air, Pembangun bendungan
harus mengajukan permohonan persetujuan prinsip pembangunan.
Bagian Ketiga
Persetujuan Prinsip Pembangunan
Pasal 14
Permohonan
persetujuan prinsip pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) diajukan oleh Pembangun bendungan kepada:Menteri
untuk pembangunan bendungan pada wilayah sungai lintas provinsi,
wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;gubernur untuk pembangunan bendungan pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; dan
bupati/walikota untuk pembangunan bendungan pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Persetujuan
prinsip pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
setelah Pembangun bendungan memperoleh izin penggunaan sumber daya air
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
Pasal 15
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen:
permohonan persetujuan prinsip pembangunan;
identitas Pembangun bendungan; dan
izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
rekomendasi teknis dari unit pelaksana teknis yang membidangi sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan;
dokumen studi kelayakan; dan
dokumen pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam hal bendungan ditujukan untuk penampungan limbah tambang (tailing),
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan
rekomendasi teknis dari instansi yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan di bidang pertambangan.
Pasal 16
Berdasarkan
permohonan persetujuan prinsip pembangunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1) yang memenuhi kelengkapan persyaratan, dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima, Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengeluarkan keputusan untuk
memberikan persetujuan atau menolak permohonan persetujuan.Penolakan
permohonan persetujuan prinsip pembangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan
penolakan.Dalam hal setelah lewat jangka waktu 3 (tiga)
bulan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya tidak mengeluarkan keputusan, permohonan dinyatakan
ditolak.Permohonan persetujuan prinsip pembangunan yang
ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menghilangkan kewajiban
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
untuk memberikan alasan tertulis.
Pasal 17
Persetujuan prinsip pembangunan bendungan paling sedikit memuat:
identitas Pembangun bendungan;
lokasi bendungan yang akan dibangun;
maksud dan tujuan pembangunan bendungan;
jenis dan tipe bendungan yang akan dibangun;
ketentuan hak dan kewajiban; dan
jangka waktu berlakunya izin.
Persetujuan
prinsip pembangunan bendungan diberikan untuk jangka waktu paling lama 5
(lima) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 5
(lima) tahun.Perpanjangan persetujuan prinsip
pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
berdasarkan rekomendasi teknis yang dikeluarkan oleh unit pelaksana
teknis yang membidangi sumber daya air pada wilayah sungai yang
bersangkutan.Dalam hal pembangunan bendungan dilakukan untuk penampungan limbah tambang (tailing),
perpanjangan persetujuan prinsip pembangunan diberikan selain
berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditambah
dengan rekomendasi teknis dari instansi yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan di bidang pertambangan.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan prinsip pembangunan bendungan diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Perencanaan Pembangunan
Pasal 19
Perencanaan pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b meliputi:
studi kelayakan;
penyusunan desain; dan
studi pengadaan tanah.
Perencanaan pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan:
kondisi sumber daya air;
keberadaan masyarakat;
benda bersejarah;
daya dukung lingkungan hidup; dan
rencana tata ruang wilayah.
Dalam perencanaan pembangunan bendungan harus dilakukan pertemuan konsultasi publik.
Perencanaan
pembangunan bendungan disusun oleh Pembangun bendungan dengan mengacu
pada norma, standar, pedoman, dan manual yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 20
Untuk perencanaan pembangunan bendungan penampung limbah tambang (tailing),
kegiatan studi kelayakan dan studi pengadaan tanah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a dan huruf c dapat merupakan bagian dari
studi kelayakan dan studi pengadaan tanah kegiatan usaha.Dalam
hal studi kelayakan dan studi pengadaan tanah kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencakup studi kelayakan dan
studi pengadaan tanah untuk bendungan, harus dilakukan studi kelayakan
dan studi pengadaan tanah khusus untuk bendungan.
Pasal 21
Studi kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a didahului dengan pra-studi kelayakan.
Studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan studi analisis mengenai dampak lingkungan.
Studi
kelayakan untuk pembangunan bendungan pengelolaan sumber daya air
dituangkan dalam dokumen studi kelayakan yang paling sedikit memuat:analisis
kondisi topografi untuk tapak rencana bendungan, jalan akses, quarry
dan borrow area, penyimpanan material, tempat pembuangan galian, dan
daerah genangan;analisis geologi yang berkaitan dengan tapak bendungan, lokasi material bahan bendungan dan daerah genangan;
analisis hidrologi daerah tangkapan air;
analisis kependudukan di daerah tapak bendungan dan rencana genangan serta daerah penerima manfaat bendungan;
analisis sosial, ekonomi, dan budaya pada daerah tapak bendungan dan rencana genangan serta daerah penerima manfaat bendungan;
analisis kelayakan teknis, ekonomis termasuk umur layan bendungan, dan lingkungan untuk setiap alternatif rencana bendungan;
rencana bendungan yang paling layak dipilih;
pra-desain bendungan yang paling layak dipilih; dan
rencana penggunaan sumber daya air.
Studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan melalui kegiatan survei dan investigasi.
Kegiatan
survei dan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai topografi, kondisi
geologi, hidrologi, hidroorologi, tutupan vegetasi, erositivitas,
kependudukan, sosial, ekonomi, dan budaya.Kegiatan
survei dan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan
Pembangun bendungan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 22
Dalam hal studi kelayakan dilakukan untuk pembangunan bendungan penampung limbah tambang (tailing) atau penampung lumpur, harus dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) kecuali huruf i.
Pasal 23
Penyusunan desain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b dilakukan melalui kegiatan survei dan investigasi.
Kegiatan
survei dan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Pembangun bendungan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.Desain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam dokumen yang paling sedikit memuat:
gambar
teknis rencana bendungan beserta bangunan pelengkapnya dan fasilitas
yang berkaitan dengan pembangunan bendungan dan peta genangan;nota
desain yang meliputi kriteria yang dipergunakan dalam menyusun desain
dan perhitungan gambar teknis sebagaimana dimaksud pada huruf a;spesifikasi
teknis yang meliputi ukuran yang harus dipenuhi untuk mencapai kualitas
pekerjaan yang disyaratkan dan peralatan yang dipergunakan dalam
pelaksanaan konstruksi;metode pelaksanaan yang paling
sedikit meliputi cara pengelakan aliran sungai, penimbunan tubuh
bendungan, dan pemasangan peralatan hidromekanikal; danrencana anggaran biaya pelaksanaan konstruksi bendungan yang meliputi perhitungan volume pekerjaan dan biaya.
Pasal 24
Desain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) diajukan oleh Pembangun
bendungan kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan desain.Persetujuan
desain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Menteri setelah
mendapat rekomendasi dari instansi teknis keamanan bendungan.
Pasal 25
Pengajuan
persetujuan desain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) harus
memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen:
permohonan persetujuan desain;
identitas Pembangun bendungan; dan
izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen:
gambar
teknis rencana bendungan beserta bangunan pelengkapnya dan fasilitas
yang berkaitan dengan pembangunan bendungan serta peta genangan;nota
desain yang meliputi kriteria yang dipergunakan dalam menyusun desain
dan perhitungan gambar teknis sebagaimana dimaksud pada huruf a;spesifikasi
teknis yang meliputi ukuran yang harus dipenuhi untuk mencapai kualitas
pekerjaan yang disyaratkan dan peralatan yang dipergunakan dalam
pelaksanaan konstruksi;metode pelaksanaan yang paling
sedikit meliputi cara pengelakan aliran sungai, penimbunan tubuh
bendungan, dan pemasangan peralatan hidromekanikal; danrencana anggaran biaya pelaksanaan konstruksi bendungan yang meliputi perhitungan volume pekerjaan dan biaya.
Dalam surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, harus dijelaskan maksud dan tujuan pembangunan bendungan.
Pasal 26
Studi
pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf c
dituangkan dalam dokumen studi pengadaan tanah yang paling sedikit
memuat:lokasi tanah yang diperlukan;
peta dan luasan tanah;
status dan kondisi tanah; dan
rencana pembiayaan.
Dalam
hal pembangunan bendungan memerlukan lahan pada kawasan permukiman,
perencanaan pembangunan bendungan perlu dilengkapi dengan studi
pemukiman kembali penduduk.
Pasal 27
Studi pemukiman kembali penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) paling sedikit memuat:
data jumlah penduduk yang akan dimukimkan kembali;
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya penduduk yang akan dimukimkan kembali;
kondisi lokasi rencana pemukiman kembali penduduk;
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya penduduk sekitar lokasi rencana pemukiman kembali;
rencana tindak;
rencana pembiayaan; dan
pemberian ganti rugi berupa uang dan/atau tanah pengganti.
Pasal 28
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan studi kelayakan, desain,
studi pengadaan tanah, dan studi pemukiman kembali penduduk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 27 diatur dengan peraturan
Menteri.
Bagian Kelima
Pelaksanaan Konstruksi
Pasal 29
Pelaksanaan
konstruksi bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c wajib
dilakukan berdasarkan izin pelaksanaan konstruksi yang diberikan oleh
Menteri.Izin pelaksanaan konstruksi bendungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan yang
diajukan oleh Pembangun bendungan.Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
Pasal 30
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) meliputi dokumen:
permohonan izin pelaksanaan konstruksi;
identitas Pembangun bendungan; dan
izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) meliputi dokumen:
desain bendungan yang telah mendapat persetujuan;
studi pengadaan tanah; dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 31
Berdasarkan
permohonan izin pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 ayat (2) yang memenuhi kelengkapan persyaratan, dalam jangka waktu
paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan diterima, Menteri memberikan
izin atau menolak permohonan izin.Penolakan permohonan
izin pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan penolakan.
Pasal 32
Izin pelaksanaan konstruksi untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing)
diberikan oleh Menteri setelah adanya rekomendasi teknis dari instansi
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan
di bidang pertambangan.
Pasal 33
Izin pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 32 paling sedikit memuat:
identitas Pembangun bendungan;
lokasi bendungan yang akan dibangun;
maksud dan tujuan pembangunan bendungan;
jenis dan tipe bendungan yang akan dibangun;
gambar dan spesifikasi teknis;
jadwal pelaksanaan konstruksi;
metode pelaksanaan konstruksi;
ketentuan hak dan kewajiban; dan
jangka waktu berlakunya izin.
Pasal 34
Dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya izin pelaksanaan
konstruksi, Pembangun bendungan wajib melakukan pelaksanaan konstruksi
sesuai dengan jadwal pelaksanaan konstruksi.Dalam hal
terjadi keadaan tertentu yang mengakibatkan penyelesaian konstruksi
tidak dapat dipenuhi sesuai dengan jadwal pelaksanaan konstruksi,
pemberi izin dapat memberikan perpanjangan waktu pelaksanaan konstruksi.Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin pelaksanaan konstruksi bendungan diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 35
Berdasarkan izin pelaksanaan konstruksi dilakukan pelaksanaan konstruksi.
Pelaksanaan konstruksi dimulai dengan persiapan pelaksanaan konstruksi yang meliputi:
pengadaan tanah; dan
mobilisasi sumber daya.
Pengadaan
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh
Pembangun bendungan sesuai dengan hasil studi pengadaan tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.Mobilisasi
sumber daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi
penyediaan tenaga kerja, peralatan, dan fasilitas pendukung.Mobilisasi
sumber daya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 36
Pelaksanaan
konstruksi bendungan dilakukan sesuai dengan desain bendungan yang
telah mendapat persetujuan desain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (2).Pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengutamakan teknologi dengan memanfaatkan sumber daya lokal.
Dalam
pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
rencana pemantauan lingkungan dan rencana pengelolaan lingkungan.
Pasal 37
Dalam hal bendungan dibangun untuk penampungan limbah tambang (tailing), pelaksanaan konstruksinya dapat dilakukan dengan cara:
sekaligus dengan menyelesaikan konstruksi bendungan terlebih dahulu kemudian diikuti penempatan awal limbah tambang (tailing); atau
bertahap yang setiap tahapnya diikuti dengan penempatan limbah tambang (tailing).
Pemeriksaan
dan evaluasi dalam pelaksanaan konstruksi secara bertahap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b harus dilakukan pada setiap tahap oleh
Pembangun bendungan.Hasil pemeriksaan dan evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pembangun bendungan
kepada instansi teknis keamanan bendungan untuk mendapatkan rekomendasi.Rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan persyaratan untuk dapat
melanjutkan pelaksanaan konstruksi bendungan tahap berikutnya.
Pasal 38
Selama pelaksanaan konstruksi, Pembangun bendungan harus melakukan kegiatan:
pembersihan lahan genangan;
pemindahan penduduk dan/atau pemukiman kembali penduduk;
penyelamatan benda bersejarah; dan/atau
pemindahan satwa liar yang dilindungi dari daerah genangan.
Tata
cara pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Untuk
pelaksanaan kegiatan pemindahan penduduk dan/atau pemukiman kembali
penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus diperhatikan
pula hasil studi pemukiman kembali penduduk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (2).Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai sebelum pengisian awal waduk.
Pasal 39
Pelaksanaan konstruksi bendungan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
Selama pelaksanaan konstruksi, Pembangun bendungan harus menyiapkan dokumen:
rencana pengisian awal waduk;
rencana pengelolaan bendungan;
rencana pembentukan unit pengelola bendungan; dan
rencana tindak darurat.
Pada akhir pelaksanaan konstruksi, Pembangun bendungan harus membuat laporan akhir pelaksanaan konstruksi bendungan.
Pasal 41
Dalam hal bendungan dibangun untuk penampungan limbah tambang (tailing), Pembangun bendungan harus menyiapkan dokumen:
rencana penempatan awal limbah tambang (tailing) atau rencana penempatan bertahap;
pedoman pemeliharaan bendungan dan pola pengisian limbah tambang (tailing) serta pengeluaran air;
rencana pembentukan unit pengelola bendungan; dan
rencana tindak darurat.
Pembangun
bendungan harus membuat laporan akhir atau laporan bertahap pelaksanaan
konstruksi bendungan penampung limbah tambang (tailing)
Pasal 42
Rencana pengisian awal waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a memuat:
rencana pelaksanaan pengisian awal;
rencana pemantauan selama pengisian awal;
rencana pengawasan; dan
rencana pengendalian.
Pasal 43
Rencana
pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1)
huruf b ditujukan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi dan
pemeliharaan bendungan beserta waduknya.Pembangunan
bendungan yang ditujukan untuk pengelolaan sumber daya air, rencana
pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
konservasi sumber daya air pada waduk, pendayagunaan, dan pengendalian
daya rusak air.Perencanaan untuk pengendalian daya rusak
air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun secara terpadu dan
menyeluruh berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah
sungai yang bersangkutan oleh Pembangun bendungan.Perencanaan pengendalian daya rusak air harus diselaraskan dengan sistem peringatan dini di wilayah sungai yang bersangkutan.
Dalam hal pembangunan bendungan ditujukan untuk penampungan limbah tambang (tailing),
rencana pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditujukan pula sebagai acuan untuk pelaksanaan penempatan limbah tambang
(tailing), dan pengeluaran air.
Pasal 44
Rencana
pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1)
huruf b memuat pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta
waduknya.Pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan
beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat tata cara pengoperasian fasilitas bendungan dan pemeliharaan
bendungan beserta waduknya.Pedoman operasi dan
pemeliharaan bendungan beserta waduknya dapat ditinjau dan dievaluasi
paling sedikit 1 (satu) kali dalam waktu 5 (lima) tahun.Hasil
peninjauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi
dasar penyempurnaan pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta
waduknya.Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan
pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya diatur
dengan peraturan Menteri.
Pasal 45
Dalam
hal rencana pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat (1) diperuntukkan bagi bendungan pengelolaan sumber daya air,
rencana pengelolaan bendungan dilengkapi dengan pola operasi waduk.Pola operasi waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
pola operasi tahun kering;
pola operasi tahun normal; dan
pola operasi tahun basah.
Pola
operasi waduk ditetapkan oleh Pengelola bendungan setiap tahun
berdasarkan hasil prakiraan curah hujan dari lembaga pemerintah
non-kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
meteorologi.Pola operasi waduk paling sedikit memuat
tata cara pengeluaran air dari waduk sesuai dengan kondisi volume
dan/atau elevasi air waduk dan kebutuhan air serta kapasitas sungai di
hilir bendungan.Pola operasi waduk harus ditinjau kembali dan dievaluasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam waktu 5 (lima) tahun.
Hasil peninjauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menjadi dasar perubahan pola operasi waduk.
Pasal 46
Dalam rencana pengelolaan bendungan yang diperuntukkan bagi penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur tidak diperlukan pola operasi waduk.
Tata cara pengeluaran air dari waduk bagi bendungan yang ditujukan untuk penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur, pengeluaran air dari waduk didasarkan atas kondisi volume dan/atau elevasi air waduk.
Pasal 47
Dalam penyusunan rencana pengelolaan bendungan harus dilakukan pertemuan konsultasi publik.
Rencana
pengelolaan bendungan dan hasil pertemuan konsultasi publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibahas dalam wadah koordinasi pengelolaan
sumber daya air di wilayah sungai bersangkutan untuk mendapatkan
pertimbangan.Rencana pengelolaan bendungan yang telah
mendapatkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.Dalam hal wadah koordinasi pengelolaan
sumber daya air wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
atau belum terbentuk, rencana pengelolaan bendungan dapat langsung
ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 48
Untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing),
rencana pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(1) huruf b ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup setelah mendapat rekomendasi
dari instansi teknis keamanan bendungan dan instansi yang
menyelenggarakan pertambangan.
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana pengelolaan bendungan diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 50
Rencana
pembentukan unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (1) huruf c dan Pasal 41 ayat (1) huruf c paling sedikit memuat:susunan organisasi;
uraian tugas;
kebutuhan sumber daya manusia; dan
sumber pendanaan.
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan unit pengelola bendungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri
Pasal 51
Rencana
tindak darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf d dan
Pasal 41 ayat (1) huruf d digunakan untuk melakukan tindakan yang
diperlukan apabila terdapat gejala kegagalan bendungan atau terjadi
kegagalan bendungan.Rencana tindak darurat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan konsepsi keamanan bendungan
dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Tindakan yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari penyelenggaraan keamanan bendungan.
Pasal 52
Rencana
tindak darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) disusun
oleh Pembangun bendungan dengan mengikutsertakan instansi teknis dan
unsur masyarakat yang terpengaruh terhadap potensi kegagalan bendungan.Rencana tindak darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat tindakan:
pengamanan bendungan; dan
penyelamatan masyarakat serta lingkungan.
Rencana tindak darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilengkapi dengan analisis keruntuhan bendungan.
Pasal 53
Rencana
tindak darurat yang telah disusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
ayat (1) dikonsultasikan kepada bupati/walikota dan gubernur yang
wilayahnya terpengaruh potensi kegagalan bendungan.Dalam
hal pengaruh potensi kegagalan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi wilayah sungai lintas negara, rencana tindak darurat
dikonsultasikan kepada bupati/walikota dan gubernur yang wilayahnya
terpengaruh potensi kegagalan bendungan serta Menteri.
Pasal 54
Rencana
tindak darurat hasil konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
diajukan oleh Pembangun bendungan kepada Pemilik bendungan untuk
ditetapkan.Rencana tindak darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk setiap bendungan.
Pasal 55
Dalam
hal pada satu daerah aliran sungai terdapat lebih dari satu bendungan,
rencana tindak darurat untuk setiap bendungan harus merupakan satu
kesatuan rencana tindak darurat.Apabila suatu bendungan
dibangun pada daerah aliran sungai yang sudah terdapat bendungan,
penyusunan rencana tindak darurat untuk bendungan yang dibangun, selain
mengikutsertakan instansi teknis dan unsur masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) harus mengikutsertakan Pengelola
bendungan yang sudah ada.Rencana tindak darurat untuk
bendungan yang sudah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
disesuaikan agar menjadi satu kesatuan dengan rencana tindak darurat
bendungan lainnya.Apabila pada satu daerah aliran sungai
dibangun lebih dari satu bendungan dalam waktu bersamaan, penyusunan
rencana tindak darurat dilakukan secara terkoordinasi antarpara
Pembangun bendungan sehingga rencana tindak darurat setiap bendungan
menjadi satu kesatuan rencana tindak darurat.
Pasal 56
Tindakan pengamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara:
memberitahukan kepada pihak terkait dengan bendungan;
mengoperasikan peralatan hidro-elektro mekanikal bendungan; dan
melakukan upaya pencegahan keruntuhan bendungan.
Tindakan pengamanan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengelola bendungan.
Tindakan
penyelamatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2)
huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 57
Rencana
tindak darurat yang telah ditetapkan harus disosialisasikan oleh
Pembangun bendungan kepada masyarakat yang terpengaruh potensi kegagalan
bendungan serta pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang wilayahnya
terpengaruh potensi kegagalan bendungan.
Pasal 58
Pengelola
bendungan harus meninjau kembali rencana tindak darurat apabila terjadi
perkembangan kondisi sumber daya air, lingkungan, dan perkembangan
keadaan sosial di hilir bendungan.Berdasarkan hasil
peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rencana tindak
darurat diajukan oleh Pengelola bendungan kepada Pemilik bendungan untuk
ditetapkan.
Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana tindak darurat diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Pengisian Awal Waduk
Pasal 60
Pengisian awal waduk dilakukan setelah pelaksanaan konstruksi bendungan selesai.
Pengisian awal waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan berdasarkan izin pengisian awal waduk.
Permohonan
izin pengisian awal waduk diajukan oleh Pembangun bendungan kepada
Menteri dan tembusannya disampaikan kepada instansi teknis keamanan
bendungan.Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi dokumen:
permohonan izin pengisian awal waduk;
identitas Pembangun bendungan;
rencana pembentukan unit pengelola bendungan; dan
izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
laporan akhir pelaksanaan konstruksi;
rencana pengisian awal waduk;
rencana pengelolaan bendungan; dan
rencana tindak darurat
Dalam
hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, persyaratan administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditambah dengan penyediaan dana
amanah untuk biaya pengelolaan pasca penghapusan fungsi bendungan.
Pasal 61
Instansi
teknis keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3)
melakukan penilaian terhadap persyaratan teknis berupa dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (6).Hasil
penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dalam
bentuk rekomendasi kepada Menteri paling lama 3 (tiga) bulan sejak
tembusan permohonan diterima.
Pasal 62
Berdasarkan
rekomendasi dari instansi teknis keamanan bendungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 10
(sepuluh) hari, Menteri memberikan izin pengisian awal waduk.
Pasal 63
Izin pengisian awal waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 paling sedikit memuat:
identitas Pembangun bendungan;
lokasi bendungan yang dibangun;
jenis dan tipe bendungan yang dibangun;
rencana pengisian awal waduk;
ketentuan hak dan kewajiban; dan
data izin penggunaan sumber daya air.
Dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diterbitkannya izin pengisian awal
waduk, Pembangun bendungan wajib melaksanakan pengisian awal waduk
sesuai dengan rencana pengisian awal waduk sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d.
Pasal 64
Berdasarkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, Pembangun bendungan melakukan pengisian awal waduk.
Dalam
waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum dilakukan pengisian awal
waduk, Pembangun bendungan memberitahukan tanggal pelaksanaan pengisian
awal waduk kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 65
Untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing), izin penempatan awal limbah tambang (tailing)
diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang lingkungan hidup setelah mendapat rekomendasi dari instansi
teknis keamanan bendungan dan instansi yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertambangan.Dalam hal bendungan penampung limbah tambang (tailing) tidak memerlukan sumber daya air, izin penempatan awal limbah tambang (tailing) tidak memuat izin penggunaan sumber daya air.
Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin pengisian awal waduk dan izin penempatan awal limbah tambang (tailing) diatur dengan peraturan Menteri.
Ketentuan
lebih lanjut mengenai dana amanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
ayat (7) diatur dengan peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan
Menteri Keuangan.
Pasal 67
Pengisian awal waduk dilaksanakan sesuai dengan rencana pelaksanaan pengisian awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a.
Sebelum
pelaksanaan pengisian awal waduk dimulai, Pembangun bendungan harus
memberi tahu masyarakat sekitar daerah genangan waduk dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari.Selama pengisian awal
waduk, Pembangun bendungan harus melakukan pemantauan, pengawasan, dan
pengendalian sesuai dengan rencana pengisian awal waduk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42.Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengisian awal waduk diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Kerja Sama Pembangunan Bendungan
Pasal 68
Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan kerja sama pembangunan bendungan.
Kerja
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan
kepentingan provinsi dan/atau kabupaten/kota dalam wilayah sungai yang
bersangkutan.
Pasal 69
Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan
kerja sama pembangunan bendungan dengan badan usaha.Kerja
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian
kerja sama pembangunan bendungan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 70
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kerja sama pembangunan bendungan diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan
Pembangunan Bendungan Lain
Pasal 71
Pembangunan
bendungan selain bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
dilakukan sesuai dengan tahapan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7.Pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan oleh Pembangun bendungan kepada Menteri.
Ketentuan
mengenai persyaratan teknis, tata cara perizinan, persetujuan, dan
pelaporan dalam pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan Menteri.
BAB III
PENGELOLAAN BENDUNGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 72
Pengelolaan bendungan beserta waduknya untuk pengelolaan sumber daya air ditujukan untuk menjamin:
kelestarian fungsi dan manfaat bendungan beserta waduknya;
efektivitas dan efisiensi pemanfaatan air; dan
keamanan bendungan.
Pengelolaan
bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem dan daya dukung
lingkungan hidup.
Pasal 73
Pengelolaan bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing) dan penampungan lumpur mengikuti ketentuan dalam peraturan pemerintah ini.
Pasal 74
Pengelolaan bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dan Pasal 73 dapat berupa tahapan:
operasi dan pemeliharaan;
perubahan atau rehabilitasi; dan
penghapusan fungsi bendungan.
Pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui kegiatan:
pelaksanaan rencana pengelolaan;
operasi dan pemeliharaan;
konservasi sumber daya air pada waduk;
pendayagunaan waduk;
pengendalian daya rusak air melalui pengendalian bendungan beserta waduknya; dan
penghapusan fungsi bendungan.
Kegiatan
pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada
bendungan beserta waduknya termasuk daerah sempadan waduk.
Pasal 75
Pengelolaan bendungan beserta waduknya menjadi tanggung jawab Pemilik bendungan.
Dalam
hal Pemerintah sebagai Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dalam pengelolaan bendungan beserta waduknya, Menteri menunjuk
unit pelaksana teknis yang membidangi sumber daya air atau badan usaha
milik negara sebagai Pengelola bendungan.Pengelola
bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam melaksanakan
pengelolaan bendungan beserta waduknya, dibantu oleh unit pengelola
bendungan.Unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
Dalam
hal Pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
badan usaha milik negara, penetapan unit pengelola bendungan dilakukan
oleh direksi badan usaha milik negara.
Pasal 76
Dalam
hal pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota sebagai Pemilik
bendungan, untuk pengelolaan bendungan beserta waduknya, gubernur atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menunjuk unit pelaksana
teknis daerah yang membidangi sumber daya air atau badan usaha milik
daerah sebagai Pengelola bendungan.Pengelola bendungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam melaksanakan pengelolaan
bendungan beserta waduknya, dibantu oleh unit pengelola bendungan.Unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota.
Pasal 77
Dalam
hal badan usaha sebagai Pemilik bendungan, untuk pengelolaan bendungan
beserta waduknya, Pemilik bendungan menetapkan Pengelola bendungan dan
unit pengelola bendungan.Pemilik bendungan bertanggung jawab terhadap pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 78
Pemilik
bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) yang
menghentikan pengelolaan bendungan beserta waduknya harus menyerahkan
pengelolaan bendungan beserta waduknya kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.Dalam hal
Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyerahkan
pengelolaan sampai dengan 6 (enam) bulan terhitung sejak pengelolaan
bendungan dihentikan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya mengambil alih pengelolaan bendungan.Pemilik
bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
menyediakan biaya pengelolaan bendungan sampai dengan berakhirnya umur
layan bendungan.Jumlah biaya pengelolaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan berpedoman pada
peraturan perundang-undangan.Dalam hal sampai dengan
berakhirnya umur layan bendungan, Pemilik bendungan tidak menyediakan
biaya pengelolaan, bendungan beserta waduknya diambil alih oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 79
Unit
pengelola bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2), Pasal
76 ayat (2), dan Pasal 77 ayat (1) mempunyai tugas untuk melaksanakan
pengelolaan bendungan beserta waduknya.Unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh kepala unit pengelola bendungan.
Kepala unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan:
memiliki
sertifikat keahlian bidang bendungan yang dikeluarkan oleh lembaga yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; danmemiliki kompetensi dalam pengelolaan bendungan beserta waduknya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan prosedur pembentukan unit pengelola bendungan diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Bendungan
Pasal 80
Pelaksanaan
rencana pengelolaan bendungan dilakukan sesuai dengan rencana
pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf
b.
Pasal 81
Pelaksanaan rencana pengelolaan bendungan dilakukan dengan memperhatikan kondisi sumber daya air dan lingkungan hidup.
Dalam hal bendungan untuk pengelolaan sumber daya air, pelaksanaan rencana pengelolaan bendungan didasarkan pada:
ketersediaan sumber daya air;
kebutuhan air;
pengendalian banjir; dan/atau
kebutuhan daya air.
Dalam hal bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur, pelaksanaan rencana pengelolaan bendungan didasarkan pada:
jenis limbah tambang (tailing) atau jenis lumpur; dan
volume limbah tambang (tailing) atau volume lumpur per satuan waktu.
Bagian Ketiga
Operasi dan Pemeliharaan
Pasal 82
Operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya terdiri atas:
operasi dan pemeliharaan bendungan; dan
pemeliharaan waduk.
Dokumen
laporan akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dipergunakan
sebagai salah satu acuan dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan
bendungan.Dalam hal bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing),
dokumen laporan akhir atau laporan bertahap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (2) digunakan sebagai salah satu acuan dalam pelaksanaan
operasi dan pemeliharaan bendungan.
Pasal 83
Pelaksanaan operasi bendungan wajib dilakukan berdasarkan izin operasi bendungan yang dikeluarkan oleh Menteri.
Izin
operasi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
berdasarkan permohonan yang diajukan oleh Pengelola bendungan.Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi dokumen:
permohonan izin operasi bendungan;
identitas Pengelola bendungan;
keputusan pembentukan unit pengelola bendungan; dan
izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
data teknis bendungan;
laporan pengisian awal waduk;
laporan analisis perilaku bendungan;
pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya; dan
laporan kejadian khusus selama pengisian awal waduk.
Pasal 84
Menteri melakukan penilaian terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2).
Menteri
dalam melakukan penilaian terhadap substansi persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjuk instansi teknis keamanan
bendungan untuk melakukan penilaian dan memberikan rekomendasi.Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Dalam
hal berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
persyaratan teknis pengoperasian bendungan belum dipenuhi, Pengelola
bendungan harus memperbaiki persyaratan teknis pengoperasian dan
menyampaikan kembali perbaikan persyaratan teknis kepada Menteri dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan izin
dikembalikan kepada Pengelola bendungan.Dalam hal
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dokumen perbaikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah memenuhi persyaratan teknis,
Menteri memberikan izin operasi bendungan.
Pasal 85
Izin operasi bendungan paling sedikit memuat:
identitas Pengelola bendungan;
lokasi bendungan yang dibangun;
maksud dan tujuan pembangunan bendungan;
jenis dan tipe bendungan yang dibangun;
rencana operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya; dan
ketentuan hak dan kewajiban.
Pasal 86
Dalam hal bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing),
izin operasi bendungan diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup setelah mendapat
rekomendasi dari instansi teknis keamanan bendungan dan instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan.
Pasal 87
Operasi
dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya dilakukan sesuai dengan
rencana pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(1) huruf b.Operasi dan pemeliharaan bendungan beserta
waduknya ditujukan untuk memfungsikan dan merawat bendungan beserta
waduknya termasuk memantau perilaku bendungan dan volume waduk agar
terjaga keamanan dan fungsinya.Untuk bendungan
pengelolaan sumber daya air, pemantauan volume waduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan pengukuran sedimentasi waduk.Pengukuran sedimentasi waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 88
Operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya harus dilakukan setiap saat.
Dalam
hal terjadi situasi luar biasa, operasi dan pemeliharaan bendungan
beserta waduknya diutamakan untuk tujuan keamanan bendungan dan
keselamatan lingkungan hidup.
Pasal 89
Pelaksanaan
operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya untuk bendungan
pengelolaan sumber daya air harus sesuai dengan pedoman operasi dan
pemeliharaan bendungan beserta waduknya serta pola operasi waduk.
Pasal 90
Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing)
atau penampung lumpur harus sesuai dengan pedoman operasi dan
pemeliharaan bendungan beserta waduknya dan tata cara pengeluaran air
dari waduk.
Pasal 91
Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pemberian izin operasi bendungan dan pelaksanaan
operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya diatur dengan
peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Konservasi Sumber Daya Air pada Waduk
Paragraf 1
Umum
Pasal 92
Konservasi
sumber daya air pada waduk untuk pengelolaan sumber daya air ditujukan
untuk menjaga kelangsungan keberadaan, daya dukung, daya tampung, dan
fungsi sumber daya air pada waduk.Untuk mencapai tujuan konservasi sumber daya air pada waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kegiatan:
perlindungan dan pelestarian waduk;
pengawetan air; dan
pengelolaan kualitas air dan pencemaran air.
Paragraf 2
Perlindungan dan Pelestarian Waduk
Pasal 93
Perlindungan
dan pelestarian waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2)
huruf a bertujuan untuk menjaga waduk agar terpelihara keberadaan,
keberlanjutan serta menjaga fungsi waduk terhadap kerusakan atau
gangguan yang disebabkan, baik oleh daya alam maupun tindakan manusia.Perlindungan
dan pelestarian waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan cara menetapkan dan mengelola kawasan lindung waduk, vegetatif,
dan/atau rekayasa teknik sipil melalui pendekatan sosial, ekonomi, dan
budaya masyarakat sekitar.Perlindungan dan pelestarian waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
pemeliharaan kelangsungan fungsi daerah tangkapan air;
pengawasan penggunaan lahan pada daerah tangkapan air;
pembuatan bangunan pengendali erosi dan sedimentasi;
pengendalian pemanfaatan ruang pada waduk;
pengendalian pengolahan tanah pada kawasan hulu waduk;
pengaturan daerah sempadan waduk; dan
peningkatan kesadaran, partisipasi, dan pemberdayaan pemilik kepentingan dalam pelestarian waduk dan lingkungannya.
Pasal 94
Pemeliharaan
kelangsungan fungsi daerah tangkapan air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (3) huruf a dilakukan pada kawasan hulu waduk.Dalam
pemeliharaan kelangsungan fungsi daerah tangkapan air, Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan:kawasan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air;
norma, standar, dan prosedur pelestarian fungsi daerah tangkapan air;
tata cara pengelolaan kawasan daerah tangkapan air;
penyelenggaraan program pelestarian fungsi daerah tangkapan air; dan
pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian fungsi daerah tangkapan air.
Dalam
hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, penyelenggaraan program
pelestarian fungsi daerah tangkapan air dan pemberdayaan masyarakat
dalam pelestarian fungsi daerah tangkapan air sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d dan huruf e dilakukan oleh Pemilik bendungan.Dalam
pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemilik
bendungan dapat meminta bantuan kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk mengoordinasikan
penyelenggaraannya.
Pasal 95
Pengawasan
penggunaan lahan pada daerah tangkapan air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (3) huruf b dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang terkait dengan bidang sumber daya air,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.Dalam
hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang terkait dengan bidang sumber daya air,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya serta Pemilik
bendungan.Dalam hal bendungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dimiliki oleh badan usaha, Pemilik bendungan melakukan
pemantauan penggunaan lahan pada daerah tangkapan air.Apabila
dari hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menunjukkan
terjadinya perubahan penggunaan lahan pada daerah tangkapan air, Pemilik
bendungan harus melaporkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang terkait dengan bidang sumber daya air, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 96
Pembuatan
bangunan pengendali erosi dan sedimentasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93 ayat (3) huruf c menjadi tanggung jawab Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan:
lokasi bangunan pengendali erosi dan sedimentasi;
pelaksanaan pembangunan pengendali erosi dan sedimentasi; dan
pemberdayaan masyarakat dalam rangka pembangunan pengendali erosi dan sedimentasi.
Dalam
hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, pelaksanaan pembangunan
pengendali erosi dan sedimentasi serta pemberdayaan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dilakukan oleh
Pemilik bendungan.Dalam pelaksanaan pembangunan
pengendali erosi dan sedimentasi serta pemberdayaan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemilik bendungan dapat meminta
bantuan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya untuk mengoordinasikan penyelenggaraannya.
Pasal 97
Pengendalian
pemanfaatan ruang pada waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat
(3) huruf d meliputi daerah genangan waduk dan daerah sempadan waduk.Dalam
rangka pengendalian pemanfaatan ruang pada waduk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya menetapkan:pemanfaatan ruang pada waduk;
pengelolaan ruang pada waduk; dan
pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang pada waduk.
Pemanfaatan ruang pada daerah genangan waduk hanya dapat dilakukan untuk:
kegiatan pariwisata;
kegiatan olahraga; dan/atau
budi daya perikanan.
Pemanfaatan ruang pada daerah sempadan waduk hanya dapat dilakukan untuk:
kegiatan penelitian;
kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan; dan/atau
upaya mempertahankan fungsi daerah sempadan waduk.
Penggunaan ruang di daerah sempadan waduk dilakukan dengan memperhatikan:
fungsi waduk agar tidak terganggu oleh aktivitas yang berkembang di sekitarnya;
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya setiap daerah; dan
daya rusak air waduk terhadap lingkungannya.
Pemanfaatan
ruang pada daerah genangan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
daerah sempadan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat
dilakukan berdasarkan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya setelah mendapat rekomendasi dari unit
pelaksana teknis yang membidangi sumber daya air pada wilayah sungai
yang bersangkutan.Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan pengawasan
dan pemantauan pemanfaatan ruang.Pemanfaatan ruang untuk
budi daya perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dengan
menggunakan karamba atau jaring apung harus berdasarkan hasil kajian
yang dilakukan oleh Pengelola bendungan.Hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (8) paling sedikit meliputi substansi:
fungsi sumber air;
daya tampung waduk;
daya dukung lingkungan; dan
tingkat kekokohan/daya tahan struktur bendungan beserta bangunan pelengkapnya.
Hasil
kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) sebagai dasar
dalam pemberian izin pemanfaatan ruang untuk budi daya perikanan dengan
menggunakan karamba atau jaring apung.Ketentuan lebih
lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan serta pengkajian
pemanfaatan ruang pada waduk diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 98
Dalam
hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, pelaksanaan kegiatan
pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat
(4) huruf b serta upaya mempertahankan fungsi daerah sempadan waduk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (4) huruf c dilakukan oleh
Pemilik bendungan.Pelaksanaan kegiatan oleh Pemilik
bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 99
Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
menyelenggarakan pengendalian pengolahan tanah pada kawasan hulu waduk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf e.Penyelenggaraan
pengendalian pengolahan tanah pada kawasan hulu waduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan:pencegahan kelongsoran;
pengendalian laju erosi tanah;
pengendalian tingkat sedimentasi pada waduk; dan/atau
peningkatan peresapan air ke dalam tanah.
Pengendalian
pengolahan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
memperhatikan kaidah konservasi dan fungsi lindung sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.Dalam hal Pemilik
bendungan merupakan badan usaha, pelaksanaan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemilik bendungan.Pelaksanaan
kegiatan oleh Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dikoordinasikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal 100
Pengaturan
daerah sempadan waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3)
huruf f merupakan pengaturan kawasan perlindungan waduk.Kawasan
perlindungan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ruang
antara garis muka air waduk tertinggi dan garis sempadan waduk.Garis sempadan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan batas luar perlindungan waduk.
Pasal 101
Garis
sempadan waduk ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya berdasarkan usulan dari Pengelola bendungan.Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada kriteria penetapan garis sempadan waduk.
Kriteria penetapan garis sempadan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
karakteristik waduk, dimensi waduk, morfologi waduk, dan ekologi waduk;
operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya; dan
tinggi jagaan bendungan.
Ketentuan
mengenai tata cara penetapan garis sempadan waduk dan pemanfaatan
daerah sempadan waduk termasuk sabuk hijau waduk diatur dengan peraturan
Menteri.
Pasal 102
Dalam
rangka mempertahankan fungsi daerah sempadan waduk, Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan
pengawasan dan pemantauan pelaksanaan pengaturan daerah sempadan waduk.Dalam
hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, penyelenggaraan pengawasan
dan pemantauan pengaturan daerah sempadan waduk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Pemilik bendungan.Penyelenggaraan
oleh Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikoordinasikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal 103
Untuk mempertahankan kawasan perlindungan waduk, setiap orang dilarang:
membuang air limbah yang tidak memenuhi baku mutu, limbah padat, dan/atau limbah cair; dan/atau
mendirikan
bangunan dan memanfaatkan lahan yang dapat mengganggu aliran air,
mengurangi kapasitas tampung waduk, atau tidak sesuai dengan
peruntukannya
Pasal 104
Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan
upaya peningkatan kesadaran, partisipasi, dan pemberdayaan pemilik
kepentingan dalam pelestarian waduk dan lingkungannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf g.Dalam hal
Pemilik bendungan merupakan badan usaha, upaya peningkatan kesadaran,
partisipasi, dan pemberdayaan pemilik kepentingan dalam pelestarian
waduk dan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3)
huruf g dilakukan oleh Pemilik bendungan.
Paragraf 3
Pengawetan Air
Pasal 105
Pengawetan
air pada waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) huruf b
ditujukan untuk memelihara keberadaan dan ketersediaan air atau
kuantitas air sesuai dengan fungsi dan manfaatnya.Pengawetan air pada waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
menyimpan air yang berlebih pada waduk untuk dimanfaatkan pada waktu diperlukan;
menghemat air melalui pemakaian yang efisien dan efektif; dan/atau
mengendalikan penggunaan air pada waduk.
Paragraf 4
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
Pasal 106
Pengelolaan kualitas air dilakukan untuk mempertahankan atau memulihkan kualitas air yang masuk dan yang berada di dalam waduk.
Pengelolaan
kualitas air untuk air yang masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pengelola bendungan melalui kegiatan perbaikan kualitas
air.Pengelolaan kualitas air untuk air yang berada di
dalam waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengelola
bendungan melalui kegiatan:pemantauan kualitas air pada waduk terkait dengan pemanfaatan air dan kesehatan lingkungan;
pengendalian kerusakan waduk;
aerasi pada waduk;
pemanfaatan organisme dan mikroorganisme yang dapat menyerap bahan pencemar pada waduk; dan
pengendalian gulma air.
Pasal 107
Pengendalian pencemaran air dilakukan untuk mempertahankan kualitas air yang masuk dan yang berada di dalam waduk.
Pengendalian
pencemaran air untuk air yang masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pengelola bendungan melalui kegiatan pencegahan masuknya
pencemar ke dalam air yang akan masuk ke waduk.Pengendalian
pencemaran air untuk air yang berada di dalam waduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengelola bendungan melalui
kegiatan:pencegahan masuknya pencemar ke dalam waduk; dan
penanggulangan pencemaran air pada waduk.
Bagian Kelima
Pendayagunaan Waduk
Pendayagunaan
waduk untuk pengelolaan sumber daya air ditujukan untuk meningkatkan
kemanfaatan sumber daya air guna kepentingan wilayah sekitar atau
lingkungan waduk serta pada kawasan hilir waduk.Pendayagunaan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendayagunaan ruang waduk untuk:
penyimpanan air; dan
pengendalian banjir.
Pendayagunaan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui kegiatan:
penatagunaan waduk;
penyediaan air dan/atau daya air pada waduk;
penggunaan atau pengusahaan air dan/atau daya air pada waduk; dan
pengusahaan kawasan bendungan beserta waduknya.
Pasal 109
Pendayagunaan waduk untuk penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur ditujukan untuk penyediaan ruang waduk guna penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur.
Pasal 110
Penatagunaan
waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) huruf a dilakukan
apabila terjadi perubahan ruang dalam waduk akibat adanya sedimen
dan/atau pemanfaatan air waduk dan daya air waduk untuk keperluan lain.Penatagunaan
waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menetapkan
zona pemanfaatan waduk dan peruntukan air pada waduk.
Pasal 111
Zona
pemanfaatan waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2)
meliputi ruang waduk sampai dengan garis sempadan waduk sebagai fungsi
lindung dan fungsi budi daya.Zona pemanfaatan waduk
ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan usulan Pengelola bendungan.Penetapan zona sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:
fluktuasi air yang dipengaruhi oleh musim;
kepentingan berbagai jenis pemanfaatan;
peran masyarakat sekitar waduk dan pihak lain yang berkepentingan;
fungsi kawasan dan fungsi waduk; dan
keamanan bendungan beserta bangunan pelengkap.
Pasal 112
Peruntukan
air pada waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) ditetapkan
oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan usulan Pengelola bendungan.Penetapan peruntukan air pada waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
daya tampung waduk;
perhitungan dan proyeksi aliran air masuk waduk; dan
kebutuhan air dan/atau daya air.
Pasal 113
Penyediaan
air dan/atau daya air pada waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
ayat (3) huruf b ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan air dan daya air
sesuai tujuan pengelolaan bendungan beserta waduknya.Penyediaan air dan daya air dilaksanakan sesuai dengan pola operasi waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.
Pasal 114
Penggunaan
atau pengusahaan air dan/atau daya air pada waduk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 108 ayat (3) huruf c ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan air
dan/atau daya air sesuai dengan tujuan pembangunan bendungan beserta
waduknya.Penggunaan atau pengusahaan air dan/atau daya
air pada waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya termasuk
pola operasi waduk.
Pasal 115
Penggunaan
atau pengusahaan air dan/atau daya air pada waduk oleh selain Pemilik
atau Pengelola bendungan harus mendapat izin penggunaan sumber daya air
untuk penggunaan atau pengusahaan air dan/atau daya air dari Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.Pemberian
izin penggunaan sumber daya air atau pengusahaan air dan/atau daya air
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:sesuai dengan zona pemanfaatan dan peruntukan air pada waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2);
sesuai
dengan rekomendasi teknis dari unit pelaksana teknis yang membidangi
sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan; danmenjamin keamanan dan kelestarian bendungan.
Pemberian
rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan
oleh unit pelaksana teknis berdasarkan pertimbangan tertulis dari
Pengelola bendungan.
Pasal 116
Pengusahaan
kawasan bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
ayat (3) huruf d merupakan pemanfaatan kawasan bendungan beserta
waduknya.Pengusahaan kawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial, daya dukung
lingkungan hidup, kesehatan lingkungan, dan kelestarian fungsi
lingkungan hidup.Pengusahaan kawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan atau badan
usaha, atau kerja sama antar badan usaha berdasarkan persetujuan
pengusahaan dari Pemilik bendungan.Dalam hal bendungan
dimiliki oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah
kabupaten/kota, pengusahaan kawasannya dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pengajuan permohonan pengusahaan kawasan bendungan
beserta waduknya diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Pengendalian Daya Rusak Air
Pasal 117
Pengendalian daya rusak air melalui pengendalian bendungan beserta waduknya meliputi:
pengendalian terhadap keutuhan fisik dan keamanan bendungan; dan
pengendalian terhadap fungsi bendungan beserta waduknya.
Pengendalian
daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
peringatan dini pada wilayah sungai yang bersangkutan.
Pasal 118
Pengendalian
daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) terutama
dilakukan dengan mengurangi besaran banjir agar daya rusak air
terkendali.Pengendalian daya rusak air dilakukan dengan cara mengatur pembukaan dan penutupan pintu bendungan.
Pembukaan
pintu bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk
mengatur pelepasan air guna pengendalian daya rusak air pada kawasan
hilir.Pelepasan air sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus tetap memperhatikan keperluan pencegahan kegagalan bendungan
terkait ruang waduk untuk pengendalian banjir.Pembukaan
dan penutupan pintu bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan berdasarkan pedoman operasi bendungan pada bendungan yang
bersangkutan.
Pasal 119
Dalam hal pelepasan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (4) pada bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing),
air yang akan dialirkan ke perairan umum harus memenuhi baku mutu air
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup.
Pasal 120
Pengendalian daya rusak
air yang dilakukan karena terjadinya kegagalan bendungan, pelaksanaannya
harus berdasarkan rencana tindak darurat dan pedoman operasi bendungan
pada bendungan yang bersangkutan.
Bagian Ketujuh
Perubahan atau Rehabilitasi
Pasal 121
Perubahan bendungan ditujukan untuk keamanan bendungan dan meningkatkan fungsi bendungan.
Perubahan bendungan dilakukan dengan cara melakukan perubahan struktur bendungan.
Dalam
hal diperlukan perubahan bendungan untuk tindakan pengamanan bendungan,
Pengelola bendungan wajib melakukan perubahan struktur bendungan.Dalam hal diperlukan peningkatan fungsi bendungan, Pengelola bendungan dapat melakukan perubahan struktur bendungan.
Pasal 122
Dalam
melakukan perubahan struktur bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
121 ayat (2), Pengelola bendungan harus terlebih dahulu memperoleh
persetujuan desain perubahan bendungan dari Menteri.Persetujuan
desain perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
berdasarkan permohonan dari Pengelola bendungan dan rekomendasi dari
instansi teknis keamanan bendungan.
Pasal 123
Rehabilitasi
bendungan merupakan tindakan perbaikan yang meliputi perekayasaan,
pelaksanaan perbaikan, dan uji perilaku bendungan yang mengalami
kerusakan.Dalam hal diperlukan tindakan pengamanan bendungan, Pengelola bendungan wajib melakukan rehabilitasi bendungan.
Dalam
melakukan rehabilitasi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pengelola bendungan harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan desain
rehabilitasi dari Menteri.Persetujuan desain
rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan berdasarkan
permohonan dari Pengelola bendungan dan rekomendasi dari instansi teknis
keamanan bendungan.
Pasal 124
Pelaksanaan
perubahan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dan
pelaksanaan rehabilitasi bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123
dilakukan setelah memperoleh izin perubahan atau izin rehabilitasi
bendungan dari Menteri.Izin perubahan atau izin
rehabilitasi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
berdasarkan permohonan dari Pengelola bendungan.Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi dokumen:
surat permohonan izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan;
identitas Pengelola bendungan; dan
izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa dokumen:
persetujuan desain perubahan bendungan atau persetujuan desain rehabilitasi bendungan; dan
dokumen pengelolaan lingkungan hidup.
Berdasarkan
permohonan izin perubahan atau rehabilitasi bendungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri memberikan izin atau menolak permohonan
izin dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak dokumen
persyaratan lengkap.Penolakan permohonan izin perubahan
atau izin rehabilitasi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
harus disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan penolakan.
Pasal 125
Izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing),
diberikan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi teknis dari instansi
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan
di bidang pertambangan.
Pasal 126
Izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan paling sedikit memuat:
identitas Pengelola bendungan;
lokasi bendungan yang akan dilakukan perubahan atau rehabilitasi bendungan;
jenis dan tipe bendungan yang akan dilakukan perubahan atau rehabilitasi bendungan;
gambar dan spesifikasi teknis;
jadwal pelaksanaan perubahan atau rehabilitasi bendungan;
metode pelaksanaan perubahan atau rehabilitasi bendungan;
ketentuan hak dan kewajiban; dan
jangka waktu berlakunya izin.
Dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya izin perubahan atau
izin rehabilitasi bendungan, Pengelola bendungan wajib melaksanakan
perubahan atau rehabilitasi bendungan sesuai dengan jadwal pelaksanaan
perubahan atau rehabilitasi bendungan.Dalam hal terjadi
keadaan tertentu yang mengakibatkan perubahan atau rehabilitasi
bendungan tidak dapat dipenuhi sesuai dengan jadwal pelaksanaan
perubahan atau rehabilitasi bendungan, pemberi izin dapat memberikan
perpanjangan waktu izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan.
Pasal 127
Pelaksanaan perubahan atau rehabilitasi bendungan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 128
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara perubahan atau rehabilitasi bendungan
dan pemberian izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan diatur
dengan peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan
Penghapusan Fungsi Bendungan
Pasal 129
Bendungan
yang tidak mempunyai manfaat lagi atau terjadi kegagalan bendungan yang
mengancam keselamatan masyarakat, Pemilik bendungan wajib melakukan
penghapusan fungsi bendungan.Penghapusan fungsi
bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara
membongkar bendungan oleh Pemilik bendungan.Dalam hal
Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melaksanakan
pembongkaran bendungan, pembongkaran bendungan dilakukan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.Biaya untuk pelaksanaan pembongkaran bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi tanggung jawab Pemilik bendungan.
Pasal 130
Dalam
hal pembongkaran bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat
(2) dapat menimbulkan bahaya terhadap keamanan dan kelestarian fungsi
lingkungan, baik di sekitar kawasan bendungan maupun hilir bendungan,
Pemilik bendungan wajib mempertahankan fisik bendungan.Dalam
mempertahankan fisik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemilik bendungan wajib menjaga, memelihara, dan mempertahankan keamanan
bendungan serta lingkungannya.
Pasal 131
Penghapusan
fungsi bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) dan
Pasal 130 ayat (1) dilakukan berdasarkan izin penghapusan fungsi
bendungan dari Menteri.Izin penghapusan fungsi bendungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan rekomendasi
dari instansi teknis keamanan bendungan dan instansi terkait lainnya.
Pasal 132
Dalam
hal fungsi bendungan telah dihapus, Pemilik bendungan bertanggung jawab
terhadap bahaya yang ditimbulkan akibat penghapusan fungsi bendungan.Dalam
pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemilik
bendungan wajib menyelenggaraan pengelolaan pasca penghapusan fungsi
bendungan.
Pasal 133
Dalam hal
bendungan yang dihapus fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129
ayat (2) dan Pasal 130 ayat (1) merupakan barang milik negara/daerah,
penghapusannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 134
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan fungsi bendungan, tata cara
pemberian izin penghapusan fungsi bendungan, dan pengelolaan pasca
penghapusan fungsi bendungan diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Kesembilan
Kerja Sama Pengelolaan Bendungan
Pasal 135
Dalam
pengelolaan bendungan beserta waduknya, Pemerintah, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan badan usaha dapat melakukan
kerja sama.Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
memperhatikan
kepentingan Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah
kabupaten/kota dalam wilayah sungai yang bersangkutan;dituangkan dalam perjanjian kerja sama pengelolaan bendungan beserta waduknya; dan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 136
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kerja sama pengelolaan bendungan beserta waduknya diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Kesepuluh
Pengelolaan Bendungan Lain
Pasal 137
Pengelolaan
bendungan selain bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
dilakukan sesuai dengan tahapan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74.Pelaksanaan pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Menteri.
Ketentuan
mengenai persyaratan teknis, tata cara perizinan, persetujuan dan
pelaporan dalam pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan Menteri.
BAB IV
KEAMANAN BENDUNGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 138
Keamanan
bendungan ditujukan untuk melindungi bendungan dari kegagalan bendungan
dan melindungi jiwa, harta, serta prasarana umum yang berada di wilayah
yang terpengaruh oleh potensi bahaya akibat kegagalan bendungan.Keamanan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
penyelenggara keamanan;
penyelenggaraan keamanan; dan
tanggung jawab kegagalan bendungan.
Bagian Kedua
Penyelenggara Keamanan Bendungan
Pasal 139
Penyelenggara keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) huruf a terdiri atas:
instansi teknis keamanan bendungan;
unit pelaksana teknis bidang keamanan bendungan; dan
Pembangun bendungan dan Pengelola bendungan.
Pasal 140
Instansi teknis keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf a bertugas:
melakukan pengkajian terhadap hasil evaluasi keamanan bendungan;
memberikan rekomendasi mengenai keamanan bendungan; dan
menyelenggarakan inspeksi bendungan.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi teknis keamanan bendungan menyelenggarakan fungsi:
pemberian
rekomendasi kepada Menteri dalam rangka pemberian persetujuan desain,
izin pengisian awal, izin operasi, persetujuan desain perubahan atau
persetujuan desain rehabilitasi, dan izin penghapusan fungsi bendungan;pemberian
rekomendasi kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang lingkungan hidup dalam rangka pemberian izin penempatan awal
limbah tambang (tailing) dan izin operasi untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing);pengkajian terhadap hasil kegiatan yang dilakukan oleh unit pelaksana teknis bidang keamanan bendungan; dan
penyelenggaraan inspeksi bendungan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja instansi teknis keamanan bendungan diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 141
Unit
pelaksana teknis bidang keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 139 huruf b bertugas memberikan dukungan teknis keamanan bendungan
kepada instansi teknis keamanan bendungan.Dalam
memberikan dukungan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), unit
pelaksana teknis bidang keamanan bendungan melakukan kegiatan:pengumpulan dan pengolahan data;
pengkajian bendungan dan analisis perilaku bendungan;
penyelenggaraan inspeksi bendungan;
penyiapan saran teknis bendungan; dan
inventarisasi dan registrasi bendungan serta klasifikasi bahaya bendungan.
Unit pelaksana teknis bidang keamanan bendungan ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 142
Pembangun
bendungan dan Pengelola bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139
huruf c bertugas melakukan evaluasi keamanan bendungan dan pemantauan
serta pemeriksaan kondisi bendungan.
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Keamanan Bendungan
Pasal 143
Penyelenggaraan keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) huruf b meliputi:
evaluasi keamanan bendungan;
pemantauan dan pemeriksaan terhadap kondisi bendungan; dan
penyelenggaraan inspeksi bendungan.
Pasal 144
Evaluasi keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 huruf a dilakukan terhadap:
perencanaan pembangunan bendungan;
pelaksanaan konstruksi;
pengisian awal waduk;
operasi dan pemeliharaan;
perubahan atau rehabilitasi; dan
kondisi bendungan pasca penghapusan fungsi bendungan.
Evaluasi
keamanan bendungan dan pemantauan serta pemeriksaan kondisi bendungan
yang dilakukan oleh Pembangun bendungan atau Pengelola bendungan
hasilnya disampaikan kepada instansi teknis keamanan bendungan.Instansi
teknis keamanan bendungan melakukan pengkajian atas hasil evaluasi
keamanan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).Berdasarkan
pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), instansi teknis keamanan
bendungan menyusun rekomendasi sebagai dasar bagi Menteri dalam
pemberian persetujuan dan/atau izin pada tahap pembangunan dan
pengelolaan bendungan.Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pelaksanaan evaluasi dan pengkajian evaluasi keamanan
bendungan diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 145
Pemantauan
dan pemeriksaan terhadap kondisi bendungan dan penyelenggaraan inspeksi
bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 huruf b dan huruf c
ditujukan untuk mengetahui secara dini permasalahan atau apabila
terdapat gejala kegagalan bendungan dan status keamanan bendungan.Penyelenggaraan inspeksi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
penelitian terhadap kondisi fisik bendungan dan bangunan pelengkapnya; dan
pengecekan instrumen bendungan.
Penyelenggaraan
inspeksi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas
inspeksi tahunan, inspeksi besar, dan inspeksi khusus/luar biasa.Inspeksi besar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
Inspeksi khusus/luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila terjadi kejadian luar biasa.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemantauan, pemeriksaan, dan inspeksi bendungan diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Tanggung Jawab Kegagalan Bendungan
Pasal 146
Dalam hal terjadi kegagalan bendungan yang diakibatkan karena kesalahan:
perencanaan, tanggung jawab kegagalan bendungan menjadi tanggung jawab perencana;
pelaksanaan
konstruksi, tanggung jawab kegagalan bendungan menjadi tanggung jawab
pelaksana konstruksi dan/atau pengawas konstruksi;pengisian
awal waduk, tanggung jawab kegagalan bendungan menjadi tanggung jawab
perencana, pelaksana konstruksi, pengawas konstruksi, dan/atau Pembangun
bendungan; danpengelolaan, tanggung jawab kegagalan bendungan menjadi tanggung jawab Pengelola bendungan.
Tanggung
jawab perencana, pelaksana konstruksi, pengawas konstruksi, Pembangun
bendungan, dan Pengelola bendungan dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.Ketentuan mengenai kriteria dan tolok ukur kegagalan bendungan diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 147
Kegagalan
bendungan dinilai dan ditetapkan bersama oleh tim penilai ahli yang
profesional dan kompeten dalam bidang yang berkaitan dengan bendungan
serta bersifat independen dan mampu memberikan penilaian secara
obyektif.Tim penilai ahli dipilih oleh Pembangun
bendungan atau Pengelola bendungan bersama dengan perencana dan
pelaksana konstruksi dan ditetapkan oleh Pemilik bendungan.Tim
penilai ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditetapkan paling
lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya laporan mengenai terjadinya
kegagalan bendungan.Tim penilai ahli harus melaporkan hasil penilaiannya kepada pihak yang menetapkannya dan tembusannya disampaikan kepada Menteri.
Menteri
berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila kegagalan bendungan
mengakibatkan kerugian dan/atau menimbulkan gangguan pada keselamatan
umum.Pelaksanaan tugas tim penilai ahli kegagalan bendungan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 148
Pembiayaan bendungan beserta waduknya meliputi biaya:
pembangunan bendungan; dan
pengelolaan bendungan beserta waduknya.
Biaya pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi biaya:
persiapan pembangunan;
perencanaan pembangunan;
pengadaan tanah;
pemindahan dan pemukiman kembali penduduk;
persiapan pelaksanaan konstruksi;
pelaksanaan konstruksi dan pengawasan konstruksi; dan
pengisian awal waduk.
Biaya pengelolaan bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi biaya:
operasi dan pemeliharaan;
konservasi pada waduk;
perubahan bendungan atau rehabilitasi bendungan;
penghapusan fungsi bendungan; dan
pengelolaan pasca penghapusan fungsi bendungan.
Pasal 149
Biaya pembangunan bendungan dan biaya pengelolaan bendungan beserta waduknya disediakan oleh Pemilik bendungan.
Dalam
hal Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota, biaya
pembangunan bendungan dan biaya pengelolaan bendungan beserta waduknya
dapat bersumber dari:anggaran pendapatan dan belanja negara;
anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi;
anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota; dan/atau
sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 150
Dalam
hal badan usaha selaku Pemilik bendungan menyerahkan pengelolaan
bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1), Pemilik
bendungan harus menyediakan biaya pengelolaan dalam bentuk dana amanah.Dana
amanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diserahkan oleh Pemilik
bendungan sebelum bendungan beserta waduknya diserahkan.Pelaksanaan
mengenai dana amanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 151
Ketentuan
lebih lanjut mengenai dana amanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150
diatur dengan peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan Menteri
Keuangan.
BAB VI
DOKUMENTASI DAN INFORMASI
Pasal 152
Pemilik
bendungan, Pengelola bendungan, unit pengelola bendungan, dan unit
pelaksana teknis bidang keamanan bendungan harus menyimpan dan
memelihara dokumen pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan
beserta waduknya.Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen:
perencanaan;
pengelolaan lingkungan hidup;
pengadaan tanah;
pelaksanaan konstruksi termasuk gambar terbangun;
petunjuk operasi dan pemeliharaan, pemantauan perilaku bendungan, riwayat operasi bendungan, serta rencana tindak darurat; dan
laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan.
Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun sejak penghapusan fungsi bendungan.
Dokumen
yang telah mencapai waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
diserahkan Pemilik bendungan kepada instansi yang menyelenggarakan
urusan penyimpanan arsip secara nasional atau daerah.
Pasal 153
Pengelola
bendungan harus menyampaikan laporan secara berkala mengenai informasi
kondisi bendungan beserta waduknya kepada instansi terkait.Informasi kondisi bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
perilaku struktural dan operasional;
hasil pembacaan instrumen beserta interpretasinya, hasil inspeksi, dan evaluasi keamanan;
perubahan atau rehabilitasi;
kejadian yang berhubungan dengan keamanan bendungan dan kejadian luar biasa; dan
kondisi air waduk termasuk alokasi air.
Pasal 154
Pengelola bendungan harus menyelenggarakan sistem informasi bendungan beserta waduknya yang dapat diakses oleh masyarakat.
Dalam menyelenggarakan sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengelola bendungan melakukan:
pengumpulan, pengolahan, dan penyediaan data dan informasi bendungan beserta waduknya; dan
pemutakhiran informasi bendungan beserta waduknya secara berkala.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 155
Menteri,
gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya serta
masyarakat melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pembangunan
bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.Pengawasan
oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap
pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya yang
dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, dan badan usaha.Pengawasan oleh gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pembangunan
bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya yang dilaksanakan
oleh pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan badan usaha.Pengawasan
oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta
waduknya yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan badan
usaha.Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan terhadap pembangunan bendungan dan pengelolaan
bendungan beserta waduknya yang diwujudkan dalam bentuk laporan atau
pengaduan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota menindaklanjuti laporan hasil pengawasan
atau pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk perbaikan dan
penyempurnaan penyelenggaraan pembangunan bendungan dan pengelolaan
bendungan beserta waduknya.
BAB VIII
PERAN MASYARAKAT
Pasal 156
Masyarakat
mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses pembangunan
bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara:
memberikan masukan dan saran dalam pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya;
mengikuti program pemberdayaan masyarakat; dan/atau
mengikuti pertemuan konsultasi publik dan sosialisasi.
Dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat mempunyai hak untuk:
memperoleh informasi mengenai pembangunan bendungan dan bendungan beserta waduknya;
menyatakan
keberatan terhadap rencana pembangaunan bendungan dan pengelolaan
bendungan beserta waduknya yang sudah diumumkan disertai alasannya;memperoleh manfaat atas pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya;
mengajukan
pengaduan kepada Pembangun bendungan atau Pengelola bendungan atas
kerugian yang menimpa dirinya berkaitan dengan penyelenggaraan
pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya;
dan/ataumengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap
berbagai masalah akibat pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan
beserta waduknya yang merugikan kehidupannya.
BAB IX
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 157
Pembangun
bendungan yang melakukan pelaksanaan konstruksi tanpa izin pelaksanaan
konstruksi yang diberikan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 ayat (1) dikenai sanksi berupa penghentian pelaksanaan konstruksi
oleh Menteri.Pembangun bendungan yang tidak melakukan
pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1)
dikenai sanksi berupa pencabutan izin pelaksanaan konstruksi oleh
Menteri.Pembangun bendungan yang melakukan pengisian
awal waduk tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2)
dikenai sanksi berupa penghentian pengisian awal waduk oleh Menteri.Pembangun
bendungan yang tidak melakukan pengisian awal waduk sampai dengan
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dikenai sanksi
berupa pencabutan izin pengisian awal waduk oleh Menteri.Pengelola
bendungan yang tidak melakukan perubahan struktur bendungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 121 ayat (3) atau tidak melakukan rehabilitasi
bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) dikenai sanksi
berupa pencabutan izin operasi bendungan.Pengelola
bendungan yang melakukan perubahan bendungan atau rehabilitasi bendungan
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) dikenai sanksi
berupa penghentian kegiatan pelaksanaan perubahan bendungan atau
rehabilitasi bendungan.
Pasal 158
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 diatur dengan peraturan Menteri.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 159
Persetujuan
atau izin yang berkaitan dengan pembangunan dan pengelolaan bendungan
yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya peraturan pemerintah ini
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir.Pengelolaan
bendungan yang telah dilaksanakan sebelum ditetapkannya peraturan
pemerintah ini yang belum dilengkapi dengan persetujuan dan perizinan,
izin operasi bendungan harus dipenuhi paling lambat 2 (dua) tahun
setelah peraturan pemerintah ini ditetapkan.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 160
Pada
saat peraturan pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan yang secara hierarki berada di bawah peraturan
pemerintah yang berkaitan dengan bendungan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan pemerintah ini.
Pasal 161
Peraturan pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan
pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Demikianlah isi Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun
2010 tentang Bendungan yang ditetapkan Presiden Dr. H. Susilo Bambang
Yudhoyono pada tanggal 18 Februari 2010 di Jakarta. Peraturan Pemerintah
Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan diundangkan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Patrialis Akbar pada tanggal 18 Februari 2010 di Jakarta.
Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan ditempatkan pada
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 45. Penjelasan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan ditempatkan
pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5117. Agar setiap
orang mengetahuinya.
Penutup
Sekian Penjelasan Singkat Mengenai PP 37 tahun 2010 tentang Bendungan. Semoga Bisa Menambah Pengetahuan Kita Semua.