Search Suggest

PP 37 tahun 2010 tentang Bendungan

61 menit

PP
37 tahun 2010 tentang Bendungan merupakan aturan pelaksanaan Pasal 22,
Pasal 34, dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan
memiliki latar belakang pemikiran bahwan untuk menyimpan air yang
berlebih pada saat musim penghujan agar dapat dimanfaatkan guna
pemenuhan kebutuhan air dan daya air pada waktu diperlukan, serta
mengendalikan daya rusak air maka perlu membentuk waduk yang dapat
menampung air.

PP 37 tahun 2010 tentang Bendungan menjelasakan
bahwa Bendungan adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu,
beton, dan/atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan
menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan menampung limbah
tambang (tailing), atau menampung lumpur sehingga terbentuk
waduk. Waduk adalah wadah buatan yang terbentuk sebagai akibat
dibangunnya bendungan. Pembangunan Bendungan juga bisa gagal maka
dikenal juga bahwa Kegagalan bendungan adalah keruntuhan sebagian atau
seluruh bendungan atau bangunan pelengkapnya dan/atau kerusakan yang
mengakibatkan tidak berfungsinya bendungan sehingga Pengamanan bendungan
adalah kegiatan yang secara sistematis dilakukan untuk mencegah atau
menghindari kemungkinan terjadinya kegagalan bendungan.

Untuk
mengurangi risiko kegagalan bendungan diperlukan pengaturan keamanan
bendungan. Berdasarkan pertimbangan keamanan bendungan, risiko kegagalan
bendungan meningkat dengan makin tingginya bendungan. Oleh karena itu
peraturan pemerintah ini meliputi pengaturan:

  1. untuk
    bendungan dengan tinggi 15 (lima belas) meter sebagai batas terendah
    untuk memberlakukan aturan, terutama yang berkaitan dengan keamanan
    bendungan;

  2. untuk bendungan dengan tinggi 10 (sepuluh)
    sampai dengan 15 (lima belas) meter juga dianggap mempunyai risiko
    kegagalan yang tinggi apabila panjang puncak bendungan paling sedikit
    500 (lima ratus) meter atau volume tampungan waduknya paling sedikit
    500.000 (lima ratus ribu) meter kubik atau debit banjir maksimal yang
    diperhitungkan paling sedikit 1.000 (seribu) meter kubik/detik; dan

  3. bendungan
    yang mempunyai kesulitan khusus pada fondasi dan/atau yang didesain
    dengan teknologi baru yaitu teknologi yang belum pernah diterapkan pada
    pembangunan bendungan di Indonesia, dan/atau mempunyai kelas bahaya
    tinggi.

Pengawasan
atas penyelenggaraan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan
beserta waduknya ditujukan untuk menjamin tercapainya kesesuaian antara
pelaksanaan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta
waduknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Masyarakat dalam pembangunan bendungan dapat memiliki peran untuk mewujudkan:

  1. Kedudukan yang setara antarpihak yang berkepentingan;

  2. Transparansi dalam proses pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya; dan

  3. Rasa memiliki dan rasa tanggung jawab guna keberlanjutan fungsi bendungan beserta waduknya.

Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan ditetapkan Presiden
Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 18 Februari 2010 di
Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan
diundangkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar pada
tanggal 18 Februari 2010 di Jakarta.

Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan ditempatkan pada
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 45. Penjelasan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan ditempatkan
pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5117. Agar setiap
orang mengetahuinya.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan

Latar Belakang

Pertimbangan PP 37 tahun 2010 tentang Bendungan, adalah

  1. bahwa
    untuk menyimpan air yang berlebih pada saat musim penghujan agar dapat
    dimanfaatkan guna pemenuhan kebutuhan air dan daya air pada waktu
    diperlukan, serta mengendalikan daya rusak air sebagaimana dimaksud
    dalam Pasal 22, Pasal 34, dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
    tentang Sumber Daya Air, perlu membentuk waduk yang dapat menampung air;

  2. bahwa waduk selain berfungsi menampung air dapat pula untuk menampung limbah tambang (tailing) atau menampung lumpur dalam rangka menjaga keamanan serta keselamatan lingkungan hidup;

  3. bahwa untuk membentuk waduk yang dapat menampung air, limbah tambang (tailing), atau lumpur, perlu membangun bendungan;

  4. bahwa
    untuk membangun bendungan yang secara teknis dapat berfungsi sesuai
    dengan tujuan pembangunan sekaligus dapat menjamin keamanan bendungan,
    perlu pengaturan mengenai bendungan;

  5. bahwa berdasarkan
    pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan
    huruf d, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Bendungan;

Dasar Hukum

Dasar hukum PP 37 tahun 2010 tentang Bendungan, adalah:

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang
    Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik
    Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
    Indonesia Nomor 4377);

Penjelasan Umum PP Bendungan

Untuk
meningkatkan kemanfaatan fungsi sumber daya air, pengawetan air, dan
pengendalian daya rusak air dapat dibangun bendungan sehingga terbentuk
waduk guna pemenuhan berbagai keperluan. Pembangunan bendungan dapat
ditujukan untuk pengelolaan sumber daya air dan untuk penampungan limbah
tambang (tailing) atau penampungan lumpur. Pembangunan
bendungan dilakukan dengan memperhatikan kondisi sumber daya air,
keberadaan masyarakat, benda bersejarah, daya dukung lingkungan hidup,
dan rencana tata ruang wilayah. Dalam hal bendungan untuk pengelolaan
sumber daya air harus didasarkan pula pada rencana pengelolaan sumber
daya air pada wilayah sungai.

Pembangunan bendungan untuk
pengelolaan sumber daya air ditujukan untuk penyediaan air baku bagi
rumah tangga, perkotaan, industri, penyediaan air irigasi, pengendalian
banjir, penyediaan daya air untuk pembangkit listrik tenaga air, dan
untuk keperluan lainnya misalnya pengisian kembali air tanah daerah
sekitar waduk, konservasi air, konservasi daerah sekitar waduk, serta
untuk prasarana perhubungan, perikanan, dan pariwisata. Sedangkan
pembangunan bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur ditujukan untuk penyediaan waduk guna penampungan limbah yaitu limbah tambang (tailing)
atau untuk penampungan lumpur yang mengalir. Lumpur yang diatur dalam
peraturan pemerintah ini adalah lumpur akibat bencana, misalnya lumpur
panas Sidoarjo.

Pembangunan
bendungan mempunyai risiko tinggi berupa kemungkinan terjadinya
kegagalan bendungan yaitu keruntuhan sebagian atau seluruh bendungan
atau bangunan pelengkapnya. Selain itu, pembangunan bendungan juga
mempunyai potensi bahaya yang besar yang dapat mengancam keselamatan
masyarakat pada kawasan hilir bendungan. Keruntuhan bendungan dapat
disebabkan oleh kegagalan struktur antara lain terjadi longsoran,
kegagalan hidraulik yang mengakibatkan terjadinya peluapan air,
kegagalan operasi, dan terjadinya rembesan yang dapat mengganggu
kestabilan bendungan.

Untuk mengurangi risiko kegagalan bendungan
diperlukan pengaturan keamanan bendungan. Berdasarkan pertimbangan
keamanan bendungan, risiko kegagalan bendungan meningkat dengan makin
tingginya bendungan. Oleh karena itu peraturan pemerintah ini meliputi
pengaturan:

  1. Untuk bendungan dengan tinggi 15
    (lima belas) meter sebagai batas terendah untuk memberlakukan aturan,
    terutama yang berkaitan dengan keamanan bendungan;

  2. Untuk
    bendungan dengan tinggi 10 (sepuluh) sampai dengan 15 (lima belas) meter
    juga dianggap mempunyai risiko kegagalan yang tinggi apabila panjang
    puncak bendungan paling sedikit 500 (lima ratus) meter atau volume
    tampungan waduknya paling sedikit 500.000 (lima ratus ribu) meter kubik
    atau debit banjir maksimal yang diperhitungkan paling sedikit 1.000
    (seribu) meter kubik/detik; dan

  3. Bendungan yang mempunyai
    kesulitan khusus pada fondasi dan/atau yang didesain dengan teknologi
    baru yaitu teknologi yang belum pernah diterapkan pada pembangunan
    bendungan di Indonesia, dan/atau mempunyai kelas bahaya tinggi.

Pembangunan
bendungan memerlukan investasi yang besar yang harus dikelola secara
efisien terkait dengan kegiatan dalam pembangunan bendungan. Pengadaan
tanah untuk tapak bendungan dan daerah genangan waduk memerlukan
pembebasan kawasan yang relatif luas dan menyangkut keberlanjutan
kehidupan penduduk. Pemukiman kembali penduduk memerlukan perhatian
dalam aspek sosial dan ekonomi sehingga tidak menimbulkan kesenjangan
dengan penduduk setempat. Pembangunan bendungan perlu direncanakan
dengan cermat, dan dilaksanakan dengan baik, serta memerlukan peran dari
semua pemilik kepentingan.

Selanjutnya
terkait dengan pertimbangan keamanan bendungan, pembangunan bendungan
diselenggarakan dalam tahapan yang meliputi, persiapan pembangunan,
perencanaan pembangunan, pelaksanaan konstruksi, dan pengisian awal
waduk. Pembangunan bendungan yang telah selesai dilaksanakan,
dilanjutkan dengan pemanfaatan bendungan beserta waduknya sesuai dengan
tujuan pembangunan, dalam tahapan pengelolaan bendungan beserta waduknya
yang meliputi operasi dan pemeliharaan, kemungkinan perubahan bendungan
atau rehabilitasi bendungan, dan diakhiri dengan penghapusan fungsi
bendungan.

Untuk menghindari kemungkinan terjadi kegagalan
bendungan dilakukan penyelenggaraan keamanan bendungan dalam keseluruhan
tahapan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta
waduknya. Penyelenggara keamanan bendungan adalah instansi teknis
keamanan bendungan, unit pelaksana teknis bidang keamanan bendungan,
Pembangun bendungan, dan Pengelola bendungan.

Dalam rangka
mewujudkan ketertiban pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan
beserta waduknya, serta penyelenggaraan keamanan bendungan, diperlukan
instrumen pengendalian yang berupa izin dan persetujuan dalam tahapan
pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.
Keseluruhan izin dan persetujuan yang diperlukan meliputi izin
penggunaan sumber daya air, persetujuan prinsip pembangunan, persetujuan
desain, izin pelaksanaan konstruksi, izin pengisian awal waduk, izin
operasi bendungan, persetujuan desain perubahan atau persetujuan desain
rehabilitasi, izin perubahan bendungan atau izin rehabilitasi bendungan,
dan izin penghapusan fungsi bendungan.

Peraturan
pemerintah ini memuat pengaturan untuk terwujudnya tertib
penyelenggaraan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta
waduknya yang selaras dengan daya dukung lingkungan hidup, memenuhi
kaidah-kaidah kelayakan teknis dan ekonomis serta keamanan bendungan,
dalam rangka mengurangi dampak negatif aspek lingkungan hidup, dan
terjaganya keselamatan umum terkait kemungkinan terjadinya kegagalan
bendungan, dan dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya air serta
meningkatkan kemanfaatan fungsi sumber daya air, pengawetan air,
pengendalian daya rusak air, dan menjaga keamanan serta keselamatan
lingkungan hidup.

Isi PP tentang Bendungan

Berikut adalah isi Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan, bukan format asli:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BENDUNGAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan:

  1. Bendungan
    adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton, dan/atau
    pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air,
    dapat pula dibangun untuk menahan dan menampung limbah tambang (tailing), atau menampung lumpur sehingga terbentuk waduk.

  2. Waduk adalah wadah buatan yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan.

  3. Bangunan
    pelengkap adalah bangunan berikut komponen dan fasilitasnya yang secara
    fungsional menjadi satu kesatuan dengan bendungan.

  4. Kegagalan
    bendungan adalah keruntuhan sebagian atau seluruh bendungan atau
    bangunan pelengkapnya dan/atau kerusakan yang mengakibatkan tidak
    berfungsinya bendungan.

  5. Pengamanan bendungan adalah
    kegiatan yang secara sistematis dilakukan untuk mencegah atau
    menghindari kemungkinan terjadinya kegagalan bendungan.

  6. Pemilik
    bendungan adalah Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
    kabupaten/kota, atau badan usaha, yang bertanggung jawab atas
    pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.

  7. Pembangun
    bendungan adalah instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Pemilik
    bendungan, badan usaha yang ditunjuk oleh Pemilik bendungan, atau
    Pemilik bendungan untuk menyelenggarakan pembangunan bendungan.

  1. Pengelola
    bendungan adalah instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Pemilik
    bendungan, badan usaha yang ditunjuk oleh Pemilik bendungan, atau
    Pemilik bendungan untuk menyelenggarakan pengelolaan bendungan beserta
    waduknya.

  2. Unit pengelola bendungan adalah unit yang
    merupakan bagian dari Pengelola bendungan yang ditetapkan oleh Pemilik
    bendungan untuk melaksanakan pengelolaan bendungan beserta waduknya.

  3. Instansi teknis keamanan bendungan adalah instansi yang bertugas membantu Menteri dalam penanganan keamanan bendungan.

  4. Unit
    pelaksana teknis bidang keamanan bendungan adalah unit yang dibentuk
    untuk memberikan dukungan teknis kepada instansi teknis keamanan
    bendungan.

  5. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut
    Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
    pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sumber daya air.

  7. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung peri kehidupan manusia dan makhluk hidup lain.

  8. Dokumen
    pengelolaan lingkungan hidup adalah dokumen yang berisi upaya
    pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang terdiri atas dokumen
    analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau dokumen upaya pengelolaan
    lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup.

Pasal 2

  1. Pengaturan
    bendungan dimaksudkan agar penyelenggaraan pembangunan bendungan dan
    pengelolaan bendungan beserta waduknya dilaksanakan secara tertib dengan
    memperhatikan daya dukung lingkungan hidup, kelayakan teknis, kelayakan
    ekonomis, kelayakan lingkungan, dan keamanan bendungan.

  2. Pembangunan
    bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan kemanfaatan fungsi
    sumber daya air, pengawetan air, pengendalian daya rusak air, dan fungsi
    pengamanan tampungan limbah tambang (tailing) atau tampungan lumpur.

Pasal 3

  1. Ruang lingkup peraturan pemerintah ini meliputi pengaturan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.

  2. Pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. bendungan dengan tinggi 15 (lima belas) meter atau lebih diukur dari dasar fondasi terdalam;

    2. bendungan
      dengan tinggi 10 (sepuluh) meter sampai dengan 15 (lima belas) meter
      diukur dari dasar fondasi terdalam dengan ketentuan:

      1. panjang puncak bendungan paling sedikit 500 (lima ratus) meter;

      2. daya tampung waduk paling sedikit 500.000 (lima ratus ribu) meter kubik; atau

      3. debit banjir maksimal yang diperhitungkan paling sedikit 1.000 (seribu) meter kubik per detik; atau

    3. bendungan
      yang mempunyai kesulitan khusus pada fondasi atau bendungan yang
      didesain menggunakan teknologi baru dan/atau bendungan yang mempunyai
      kelas bahaya tinggi.

BAB II
PEMBANGUNAN BENDUNGAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 4

  1. Pembangunan bendungan dilakukan untuk pengelolaan sumber daya air.

  2. Bendungan
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk penyediaan air baku,
    penyediaan air irigasi, pengendalian banjir, dan/atau pembangkit
    listrik tenaga air.

Pasal 5

Pembangunan bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing) dan penampungan lumpur mengikuti ketentuan dalam peraturan pemerintah ini.

Pasal 6

Instansi
pemerintah atau badan usaha dalam melaksanakan pembangunan bendungan
wajib menggunakan tenaga kerja yang memiliki keahlian dan keterampilan
di bidang bendungan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 7

Pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 meliputi tahapan:

  1. persiapan pembangunan;

  2. perencanaan pembangunan;

  3. pelaksanaan konstruksi; dan

  4. pengisian awal waduk.

     

Bagian Kedua
Persiapan Pembangunan

Paragraf 1
Umum

Pasal 8

  1. Pembangunan
    bendungan untuk pengelolaan sumber daya air disusun berdasarkan rencana
    pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.

  2. Dalam
    hal rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang
    bersangkutan belum ditetapkan, pembangunan bendungan disusun berdasarkan
    ketersediaan dan kebutuhan air pada wilayah sungai dan rencana tata
    ruang pada wilayah sungai yang bersangkutan.

Pasal 9

  1. Dalam rangka pembangunan bendungan diperlukan izin penggunaan sumber daya air.

  2. Bendungan penampung limbah tambang (tailing) yang tidak memerlukan sumber daya air dan bendungan penampung lumpur tidak memerlukan izin penggunaan sumber daya air.

Paragraf 2
Izin Penggunaan Sumber Daya Air

Pasal 10

  1. Izin penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diberikan oleh:

    1. Menteri
      untuk penggunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,
      wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;

    2. gubernur untuk penggunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; dan

    3. bupati/walikota untuk penggunaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

  2. Izin penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan dari Pembangun bendungan.

  3. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.

  4. Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi dokumen:

    1. permohonan izin penggunaan sumber daya air;

    2. identitas Pembangun bendungan; dan

    3. izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  5. Persyaratan
    teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa rekomendasi teknis
    dari unit pelaksana teknis yang membidangi sumber daya air pada wilayah
    sungai yang bersangkutan.

Pasal 11

  1. Berdasarkan
    permohonan izin penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 10 ayat (2) yang memenuhi kelengkapan persyaratan, dalam jangka
    waktu 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima, Menteri, gubernur, atau
    bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya harus mengeluarkan keputusan
    untuk memberikan izin atau menolak permohonan izin.

  2. Dalam
    hal permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui,
    Menteri, gubernur, atau bupati/walikota memberikan izin penggunaan
    sumber daya air.

  3. Dalam hal permohonan izin sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) ditolak, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
    harus menyampaikan alasan penolakan secara tertulis.

Pasal 12

  1. Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) paling sedikit memuat:

    1. identitas Pembangun bendungan;

    2. lokasi penggunaan sumber daya air;

    3. maksud dan tujuan pembangunan dan pengelolaan bendungan;

    4. jenis dan tipe bendungan yang akan dibangun;

    5. volume air dan/atau jumlah daya air;

    6. rencana penggunaan sumber daya air;

    7. ketentuan hak dan kewajiban; dan

    8. jangka waktu berlakunya izin.

  2. Jangka
    waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h dipertimbangkan
    berdasarkan rencana keuangan investasi pembangunan bendungan dan
    pengelolaan bendungan beserta waduknya.

Pasal 13

  1. Jangka
    waktu izin penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal
    12 ayat (1) huruf h dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan
    secara tertulis paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum jangka waktu izin
    berakhir.

  2. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun
    setelah mendapat izin penggunaan sumber daya air, Pembangun bendungan
    harus mengajukan permohonan persetujuan prinsip pembangunan.

Bagian Ketiga
Persetujuan Prinsip Pembangunan

Pasal 14

  1. Permohonan
    persetujuan prinsip pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 13 ayat (2) diajukan oleh Pembangun bendungan kepada:

    1. Menteri
      untuk pembangunan bendungan pada wilayah sungai lintas provinsi,
      wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;

    2. gubernur untuk pembangunan bendungan pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; dan

    3. bupati/walikota untuk pembangunan bendungan pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

  2. Persetujuan
    prinsip pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
    setelah Pembangun bendungan memperoleh izin penggunaan sumber daya air
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).

Pasal 15

  1. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.

  2. Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen:

    1. permohonan persetujuan prinsip pembangunan;

    2. identitas Pembangun bendungan; dan

    3. izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. rekomendasi teknis dari unit pelaksana teknis yang membidangi sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan;

    2. dokumen studi kelayakan; dan

    3. dokumen pengelolaan lingkungan hidup.

  4. Dalam hal bendungan ditujukan untuk penampungan limbah tambang (tailing),
    persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan
    rekomendasi teknis dari instansi yang menyelenggarakan urusan
    pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan di bidang pertambangan.

Pasal 16

  1. Berdasarkan
    permohonan persetujuan prinsip pembangunan sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 14 ayat (1) yang memenuhi kelengkapan persyaratan, dalam jangka
    waktu 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima, Menteri, gubernur, atau
    bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengeluarkan keputusan untuk
    memberikan persetujuan atau menolak permohonan persetujuan.

  2. Penolakan
    permohonan persetujuan prinsip pembangunan sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) harus disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan
    penolakan.

  3. Dalam hal setelah lewat jangka waktu 3 (tiga)
    bulan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
    kewenangannya tidak mengeluarkan keputusan, permohonan dinyatakan
    ditolak.

  4. Permohonan persetujuan prinsip pembangunan yang
    ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menghilangkan kewajiban
    Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
    untuk memberikan alasan tertulis.

Pasal 17

  1. Persetujuan prinsip pembangunan bendungan paling sedikit memuat:

    1. identitas Pembangun bendungan;

    2. lokasi bendungan yang akan dibangun;

    3. maksud dan tujuan pembangunan bendungan;

    4. jenis dan tipe bendungan yang akan dibangun;

    5. ketentuan hak dan kewajiban; dan

    6. jangka waktu berlakunya izin.

  2. Persetujuan
    prinsip pembangunan bendungan diberikan untuk jangka waktu paling lama 5
    (lima) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 5
    (lima) tahun.

  3. Perpanjangan persetujuan prinsip
    pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
    berdasarkan rekomendasi teknis yang dikeluarkan oleh unit pelaksana
    teknis yang membidangi sumber daya air pada wilayah sungai yang
    bersangkutan.

  4. Dalam hal pembangunan bendungan dilakukan untuk penampungan limbah tambang (tailing),
    perpanjangan persetujuan prinsip pembangunan diberikan selain
    berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditambah
    dengan rekomendasi teknis dari instansi yang menyelenggarakan urusan
    pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan di bidang pertambangan.

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan prinsip pembangunan bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Perencanaan Pembangunan

Pasal 19

  1. Perencanaan pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b meliputi:

    1. studi kelayakan;

    2. penyusunan desain; dan

    3. studi pengadaan tanah.

  2. Perencanaan pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan:

    1. kondisi sumber daya air;

    2. keberadaan masyarakat;

    3. benda bersejarah;

    4. daya dukung lingkungan hidup; dan

    5. rencana tata ruang wilayah.

  3. Dalam perencanaan pembangunan bendungan harus dilakukan pertemuan konsultasi publik.

  4. Perencanaan
    pembangunan bendungan disusun oleh Pembangun bendungan dengan mengacu
    pada norma, standar, pedoman, dan manual yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 20

  1. Untuk perencanaan pembangunan bendungan penampung limbah tambang (tailing),
    kegiatan studi kelayakan dan studi pengadaan tanah sebagaimana dimaksud
    dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a dan huruf c dapat merupakan bagian dari
    studi kelayakan dan studi pengadaan tanah kegiatan usaha.

  2. Dalam
    hal studi kelayakan dan studi pengadaan tanah kegiatan usaha
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencakup studi kelayakan dan
    studi pengadaan tanah untuk bendungan, harus dilakukan studi kelayakan
    dan studi pengadaan tanah khusus untuk bendungan.

Pasal 21

  1. Studi kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a didahului dengan pra-studi kelayakan.

  2. Studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan studi analisis mengenai dampak lingkungan.

  3. Studi
    kelayakan untuk pembangunan bendungan pengelolaan sumber daya air
    dituangkan dalam dokumen studi kelayakan yang paling sedikit memuat:

    1. analisis
      kondisi topografi untuk tapak rencana bendungan, jalan akses, quarry
      dan borrow area, penyimpanan material, tempat pembuangan galian, dan
      daerah genangan;

    2. analisis geologi yang berkaitan dengan tapak bendungan, lokasi material bahan bendungan dan daerah genangan;

    3. analisis hidrologi daerah tangkapan air;

    4. analisis kependudukan di daerah tapak bendungan dan rencana genangan serta daerah penerima manfaat bendungan;

    5. analisis sosial, ekonomi, dan budaya pada daerah tapak bendungan dan rencana genangan serta daerah penerima manfaat bendungan;

    6. analisis kelayakan teknis, ekonomis termasuk umur layan bendungan, dan lingkungan untuk setiap alternatif rencana bendungan;

    7. rencana bendungan yang paling layak dipilih;

    8. pra-desain bendungan yang paling layak dipilih; dan

    9. rencana penggunaan sumber daya air.

  4. Studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan melalui kegiatan survei dan investigasi.

  5. Kegiatan
    survei dan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
    untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai topografi, kondisi
    geologi, hidrologi, hidroorologi, tutupan vegetasi, erositivitas,
    kependudukan, sosial, ekonomi, dan budaya.

  6. Kegiatan
    survei dan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan
    Pembangun bendungan sesuai dengan ketentuan peraturan
    perundang-undangan.

Pasal 22

Dalam hal studi kelayakan dilakukan untuk pembangunan bendungan penampung limbah tambang (tailing) atau penampung lumpur, harus dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) kecuali huruf i.

Pasal 23

  1. Penyusunan desain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b dilakukan melalui kegiatan survei dan investigasi.

  2. Kegiatan
    survei dan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
    oleh Pembangun bendungan sesuai dengan ketentuan peraturan
    perundang-undangan.

  3. Desain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam dokumen yang paling sedikit memuat:

    1. gambar
      teknis rencana bendungan beserta bangunan pelengkapnya dan fasilitas
      yang berkaitan dengan pembangunan bendungan dan peta genangan;

    2. nota
      desain yang meliputi kriteria yang dipergunakan dalam menyusun desain
      dan perhitungan gambar teknis sebagaimana dimaksud pada huruf a;

    3. spesifikasi
      teknis yang meliputi ukuran yang harus dipenuhi untuk mencapai kualitas
      pekerjaan yang disyaratkan dan peralatan yang dipergunakan dalam
      pelaksanaan konstruksi;

    4. metode pelaksanaan yang paling
      sedikit meliputi cara pengelakan aliran sungai, penimbunan tubuh
      bendungan, dan pemasangan peralatan hidromekanikal; dan

    5. rencana anggaran biaya pelaksanaan konstruksi bendungan yang meliputi perhitungan volume pekerjaan dan biaya.

Pasal 24

  1. Desain
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) diajukan oleh Pembangun
    bendungan kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan desain.

  2. Persetujuan
    desain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Menteri setelah
    mendapat rekomendasi dari instansi teknis keamanan bendungan.

Pasal 25

  1. Pengajuan
    persetujuan desain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) harus
    memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.

  2. Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen:

    1. permohonan persetujuan desain;

    2. identitas Pembangun bendungan; dan

    3. izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen:

    1. gambar
      teknis rencana bendungan beserta bangunan pelengkapnya dan fasilitas
      yang berkaitan dengan pembangunan bendungan serta peta genangan;

    2. nota
      desain yang meliputi kriteria yang dipergunakan dalam menyusun desain
      dan perhitungan gambar teknis sebagaimana dimaksud pada huruf a;

    3. spesifikasi
      teknis yang meliputi ukuran yang harus dipenuhi untuk mencapai kualitas
      pekerjaan yang disyaratkan dan peralatan yang dipergunakan dalam
      pelaksanaan konstruksi;

    4. metode pelaksanaan yang paling
      sedikit meliputi cara pengelakan aliran sungai, penimbunan tubuh
      bendungan, dan pemasangan peralatan hidromekanikal; dan

    5. rencana anggaran biaya pelaksanaan konstruksi bendungan yang meliputi perhitungan volume pekerjaan dan biaya.

  4. Dalam surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, harus dijelaskan maksud dan tujuan pembangunan bendungan.

Pasal 26

  1. Studi
    pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf c
    dituangkan dalam dokumen studi pengadaan tanah yang paling sedikit
    memuat:

    1. lokasi tanah yang diperlukan;

    2. peta dan luasan tanah;

    3. status dan kondisi tanah; dan

    4. rencana pembiayaan.

  2. Dalam
    hal pembangunan bendungan memerlukan lahan pada kawasan permukiman,
    perencanaan pembangunan bendungan perlu dilengkapi dengan studi
    pemukiman kembali penduduk.

Pasal 27

Studi pemukiman kembali penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) paling sedikit memuat:

  1. data jumlah penduduk yang akan dimukimkan kembali;

  2. kondisi sosial, ekonomi, dan budaya penduduk yang akan dimukimkan kembali;

  3. kondisi lokasi rencana pemukiman kembali penduduk;

  4. kondisi sosial, ekonomi, dan budaya penduduk sekitar lokasi rencana pemukiman kembali;

  5. rencana tindak;

  6. rencana pembiayaan; dan

  7. pemberian ganti rugi berupa uang dan/atau tanah pengganti.

Pasal 28

Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan studi kelayakan, desain,
studi pengadaan tanah, dan studi pemukiman kembali penduduk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 27 diatur dengan peraturan
Menteri.

Bagian Kelima
Pelaksanaan Konstruksi

Pasal 29

  1. Pelaksanaan
    konstruksi bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c wajib
    dilakukan berdasarkan izin pelaksanaan konstruksi yang diberikan oleh
    Menteri.

  2. Izin pelaksanaan konstruksi bendungan
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan yang
    diajukan oleh Pembangun bendungan.

  3. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.

Pasal 30

  1. Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) meliputi dokumen:

    1. permohonan izin pelaksanaan konstruksi;

    2. identitas Pembangun bendungan; dan

    3. izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  2. Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) meliputi dokumen:

    1. desain bendungan yang telah mendapat persetujuan;

    2. studi pengadaan tanah; dan

    3. pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 31

  1. Berdasarkan
    permohonan izin pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
    29 ayat (2) yang memenuhi kelengkapan persyaratan, dalam jangka waktu
    paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan diterima, Menteri memberikan
    izin atau menolak permohonan izin.

  2. Penolakan permohonan
    izin pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
    disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan penolakan.

Pasal 32

Izin pelaksanaan konstruksi untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing)
diberikan oleh Menteri setelah adanya rekomendasi teknis dari instansi
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan
di bidang pertambangan.

Pasal 33

Izin pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 32 paling sedikit memuat:

  1. identitas Pembangun bendungan;

  2. lokasi bendungan yang akan dibangun;

  3. maksud dan tujuan pembangunan bendungan;

  4. jenis dan tipe bendungan yang akan dibangun;

  5. gambar dan spesifikasi teknis;

  6. jadwal pelaksanaan konstruksi;

  7. metode pelaksanaan konstruksi;

  8. ketentuan hak dan kewajiban; dan

  9. jangka waktu berlakunya izin.

Pasal 34

  1. Dalam
    jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya izin pelaksanaan
    konstruksi, Pembangun bendungan wajib melakukan pelaksanaan konstruksi
    sesuai dengan jadwal pelaksanaan konstruksi.

  2. Dalam hal
    terjadi keadaan tertentu yang mengakibatkan penyelesaian konstruksi
    tidak dapat dipenuhi sesuai dengan jadwal pelaksanaan konstruksi,
    pemberi izin dapat memberikan perpanjangan waktu pelaksanaan konstruksi.

  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin pelaksanaan konstruksi bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 35

  1. Berdasarkan izin pelaksanaan konstruksi dilakukan pelaksanaan konstruksi.

  2. Pelaksanaan konstruksi dimulai dengan persiapan pelaksanaan konstruksi yang meliputi:

    1. pengadaan tanah; dan

    2. mobilisasi sumber daya.

  3. Pengadaan
    tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh
    Pembangun bendungan sesuai dengan hasil studi pengadaan tanah
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan dilakukan sesuai dengan
    ketentuan peraturan perundang-undangan.

  4. Mobilisasi
    sumber daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi
    penyediaan tenaga kerja, peralatan, dan fasilitas pendukung.

  5. Mobilisasi
    sumber daya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilaksanakan
    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 36

  1. Pelaksanaan
    konstruksi bendungan dilakukan sesuai dengan desain bendungan yang
    telah mendapat persetujuan desain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
    ayat (2).

  2. Pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengutamakan teknologi dengan memanfaatkan sumber daya lokal.

  3. Dalam
    pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
    rencana pemantauan lingkungan dan rencana pengelolaan lingkungan.

Pasal 37

  1. Dalam hal bendungan dibangun untuk penampungan limbah tambang (tailing), pelaksanaan konstruksinya dapat dilakukan dengan cara:

    1. sekaligus dengan menyelesaikan konstruksi bendungan terlebih dahulu kemudian diikuti penempatan awal limbah tambang (tailing); atau

    2. bertahap yang setiap tahapnya diikuti dengan penempatan limbah tambang (tailing).

  2. Pemeriksaan
    dan evaluasi dalam pelaksanaan konstruksi secara bertahap sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) huruf b harus dilakukan pada setiap tahap oleh
    Pembangun bendungan.

  3. Hasil pemeriksaan dan evaluasi
    sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pembangun bendungan
    kepada instansi teknis keamanan bendungan untuk mendapatkan rekomendasi.

  4. Rekomendasi
    sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan persyaratan untuk dapat
    melanjutkan pelaksanaan konstruksi bendungan tahap berikutnya.

Pasal 38

  1. Selama pelaksanaan konstruksi, Pembangun bendungan harus melakukan kegiatan:

    1. pembersihan lahan genangan;

    2. pemindahan penduduk dan/atau pemukiman kembali penduduk;

    3. penyelamatan benda bersejarah; dan/atau

    4. pemindahan satwa liar yang dilindungi dari daerah genangan.

  2. Tata
    cara pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Untuk
    pelaksanaan kegiatan pemindahan penduduk dan/atau pemukiman kembali
    penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus diperhatikan
    pula hasil studi pemukiman kembali penduduk sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 26 ayat (2).

  4. Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai sebelum pengisian awal waduk.

Pasal 39

Pelaksanaan konstruksi bendungan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40

  1. Selama pelaksanaan konstruksi, Pembangun bendungan harus menyiapkan dokumen:

    1. rencana pengisian awal waduk;

    2. rencana pengelolaan bendungan;

    3. rencana pembentukan unit pengelola bendungan; dan

    4. rencana tindak darurat.

  2. Pada akhir pelaksanaan konstruksi, Pembangun bendungan harus membuat laporan akhir pelaksanaan konstruksi bendungan.

Pasal 41

  1. Dalam hal bendungan dibangun untuk penampungan limbah tambang (tailing), Pembangun bendungan harus menyiapkan dokumen:

    1. rencana penempatan awal limbah tambang (tailing) atau rencana penempatan bertahap;

    2. pedoman pemeliharaan bendungan dan pola pengisian limbah tambang (tailing) serta pengeluaran air;

    3. rencana pembentukan unit pengelola bendungan; dan

    4. rencana tindak darurat.

  2. Pembangun
    bendungan harus membuat laporan akhir atau laporan bertahap pelaksanaan
    konstruksi bendungan penampung limbah tambang (tailing)

Pasal 42

Rencana pengisian awal waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a memuat:

  1. rencana pelaksanaan pengisian awal;

  2. rencana pemantauan selama pengisian awal;

  3. rencana pengawasan; dan

  4. rencana pengendalian.

Pasal 43

  1. Rencana
    pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1)
    huruf b ditujukan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi dan
    pemeliharaan bendungan beserta waduknya.

  2. Pembangunan
    bendungan yang ditujukan untuk pengelolaan sumber daya air, rencana
    pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
    konservasi sumber daya air pada waduk, pendayagunaan, dan pengendalian
    daya rusak air.

  3. Perencanaan untuk pengendalian daya rusak
    air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun secara terpadu dan
    menyeluruh berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah
    sungai yang bersangkutan oleh Pembangun bendungan.

  4. Perencanaan pengendalian daya rusak air harus diselaraskan dengan sistem peringatan dini di wilayah sungai yang bersangkutan.

  5. Dalam hal pembangunan bendungan ditujukan untuk penampungan limbah tambang (tailing),
    rencana pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    ditujukan pula sebagai acuan untuk pelaksanaan penempatan limbah tambang
    (tailing), dan pengeluaran air.

Pasal 44

  1. Rencana
    pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1)
    huruf b memuat pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta
    waduknya.

  2. Pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan
    beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
    memuat tata cara pengoperasian fasilitas bendungan dan pemeliharaan
    bendungan beserta waduknya.

  3. Pedoman operasi dan
    pemeliharaan bendungan beserta waduknya dapat ditinjau dan dievaluasi
    paling sedikit 1 (satu) kali dalam waktu 5 (lima) tahun.

  4. Hasil
    peninjauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi
    dasar penyempurnaan pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta
    waduknya.

  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan
    pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya diatur
    dengan peraturan Menteri.

Pasal 45

  1. Dalam
    hal rencana pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
    ayat (1) diperuntukkan bagi bendungan pengelolaan sumber daya air,
    rencana pengelolaan bendungan dilengkapi dengan pola operasi waduk.

  2. Pola operasi waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. pola operasi tahun kering;

    2. pola operasi tahun normal; dan

    3. pola operasi tahun basah.

  3. Pola
    operasi waduk ditetapkan oleh Pengelola bendungan setiap tahun
    berdasarkan hasil prakiraan curah hujan dari lembaga pemerintah
    non-kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
    meteorologi.

  4. Pola operasi waduk paling sedikit memuat
    tata cara pengeluaran air dari waduk sesuai dengan kondisi volume
    dan/atau elevasi air waduk dan kebutuhan air serta kapasitas sungai di
    hilir bendungan.

  5. Pola operasi waduk harus ditinjau kembali dan dievaluasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam waktu 5 (lima) tahun.

  6. Hasil peninjauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menjadi dasar perubahan pola operasi waduk.

Pasal 46

  1. Dalam rencana pengelolaan bendungan yang diperuntukkan bagi penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur tidak diperlukan pola operasi waduk.

  2. Tata cara pengeluaran air dari waduk bagi bendungan yang ditujukan untuk penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur, pengeluaran air dari waduk didasarkan atas kondisi volume dan/atau elevasi air waduk.

Pasal 47

  1. Dalam penyusunan rencana pengelolaan bendungan harus dilakukan pertemuan konsultasi publik.

  2. Rencana
    pengelolaan bendungan dan hasil pertemuan konsultasi publik sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) dibahas dalam wadah koordinasi pengelolaan
    sumber daya air di wilayah sungai bersangkutan untuk mendapatkan
    pertimbangan.

  3. Rencana pengelolaan bendungan yang telah
    mendapatkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
    oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
    kewenangannya.

  4. Dalam hal wadah koordinasi pengelolaan
    sumber daya air wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
    atau belum terbentuk, rencana pengelolaan bendungan dapat langsung
    ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
    kewenangannya.

Pasal 48

Untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing),
rencana pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(1) huruf b ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup setelah mendapat rekomendasi
dari instansi teknis keamanan bendungan dan instansi yang
menyelenggarakan pertambangan.

Pasal 49

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana pengelolaan bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 50

  1. Rencana
    pembentukan unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
    40 ayat (1) huruf c dan Pasal 41 ayat (1) huruf c paling sedikit memuat:

    1. susunan organisasi;

    2. uraian tugas;

    3. kebutuhan sumber daya manusia; dan

    4. sumber pendanaan.

  2. Ketentuan
    lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan unit pengelola bendungan
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri

Pasal 51

  1. Rencana
    tindak darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf d dan
    Pasal 41 ayat (1) huruf d digunakan untuk melakukan tindakan yang
    diperlukan apabila terdapat gejala kegagalan bendungan atau terjadi
    kegagalan bendungan.

  2. Rencana tindak darurat sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan konsepsi keamanan bendungan
    dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Tindakan yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari penyelenggaraan keamanan bendungan.

Pasal 52

  1. Rencana
    tindak darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) disusun
    oleh Pembangun bendungan dengan mengikutsertakan instansi teknis dan
    unsur masyarakat yang terpengaruh terhadap potensi kegagalan bendungan.

  2. Rencana tindak darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat tindakan:

    1. pengamanan bendungan; dan

    2. penyelamatan masyarakat serta lingkungan.

  3. Rencana tindak darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilengkapi dengan analisis keruntuhan bendungan.

Pasal 53

  1. Rencana
    tindak darurat yang telah disusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
    ayat (1) dikonsultasikan kepada bupati/walikota dan gubernur yang
    wilayahnya terpengaruh potensi kegagalan bendungan.

  2. Dalam
    hal pengaruh potensi kegagalan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat
    (1) meliputi wilayah sungai lintas negara, rencana tindak darurat
    dikonsultasikan kepada bupati/walikota dan gubernur yang wilayahnya
    terpengaruh potensi kegagalan bendungan serta Menteri.

Pasal 54

  1. Rencana
    tindak darurat hasil konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
    diajukan oleh Pembangun bendungan kepada Pemilik bendungan untuk
    ditetapkan.

  2. Rencana tindak darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk setiap bendungan.

Pasal 55

  1. Dalam
    hal pada satu daerah aliran sungai terdapat lebih dari satu bendungan,
    rencana tindak darurat untuk setiap bendungan harus merupakan satu
    kesatuan rencana tindak darurat.

  2. Apabila suatu bendungan
    dibangun pada daerah aliran sungai yang sudah terdapat bendungan,
    penyusunan rencana tindak darurat untuk bendungan yang dibangun, selain
    mengikutsertakan instansi teknis dan unsur masyarakat sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) harus mengikutsertakan Pengelola
    bendungan yang sudah ada.

  3. Rencana tindak darurat untuk
    bendungan yang sudah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
    disesuaikan agar menjadi satu kesatuan dengan rencana tindak darurat
    bendungan lainnya.

  4. Apabila pada satu daerah aliran sungai
    dibangun lebih dari satu bendungan dalam waktu bersamaan, penyusunan
    rencana tindak darurat dilakukan secara terkoordinasi antarpara
    Pembangun bendungan sehingga rencana tindak darurat setiap bendungan
    menjadi satu kesatuan rencana tindak darurat.

Pasal 56

  1. Tindakan pengamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara:

    1. memberitahukan kepada pihak terkait dengan bendungan;

    2. mengoperasikan peralatan hidro-elektro mekanikal bendungan; dan

    3. melakukan upaya pencegahan keruntuhan bendungan.

  2. Tindakan pengamanan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengelola bendungan.

  3. Tindakan
    penyelamatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2)
    huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57

Rencana
tindak darurat yang telah ditetapkan harus disosialisasikan oleh
Pembangun bendungan kepada masyarakat yang terpengaruh potensi kegagalan
bendungan serta pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang wilayahnya
terpengaruh potensi kegagalan bendungan.

Pasal 58

  1. Pengelola
    bendungan harus meninjau kembali rencana tindak darurat apabila terjadi
    perkembangan kondisi sumber daya air, lingkungan, dan perkembangan
    keadaan sosial di hilir bendungan.

  2. Berdasarkan hasil
    peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rencana tindak
    darurat diajukan oleh Pengelola bendungan kepada Pemilik bendungan untuk
    ditetapkan.

Pasal 59

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana tindak darurat diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Keenam
Pengisian Awal Waduk

Pasal 60

  1. Pengisian awal waduk dilakukan setelah pelaksanaan konstruksi bendungan selesai.

  2. Pengisian awal waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan berdasarkan izin pengisian awal waduk.

  3. Permohonan
    izin pengisian awal waduk diajukan oleh Pembangun bendungan kepada
    Menteri dan tembusannya disampaikan kepada instansi teknis keamanan
    bendungan.

  4. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.

  5. Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi dokumen:

    1. permohonan izin pengisian awal waduk;

    2. identitas Pembangun bendungan;

    3. rencana pembentukan unit pengelola bendungan; dan

    4. izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  6. Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:

    1. laporan akhir pelaksanaan konstruksi;

    2. rencana pengisian awal waduk;

    3. rencana pengelolaan bendungan; dan

    4. rencana tindak darurat

  7. Dalam
    hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, persyaratan administratif
    sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditambah dengan penyediaan dana
    amanah untuk biaya pengelolaan pasca penghapusan fungsi bendungan.

Pasal 61

  1. Instansi
    teknis keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3)
    melakukan penilaian terhadap persyaratan teknis berupa dokumen
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (6).

  2. Hasil
    penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dalam
    bentuk rekomendasi kepada Menteri paling lama 3 (tiga) bulan sejak
    tembusan permohonan diterima.

Pasal 62

Berdasarkan
rekomendasi dari instansi teknis keamanan bendungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 10
(sepuluh) hari, Menteri memberikan izin pengisian awal waduk.

Pasal 63

  1. Izin pengisian awal waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 paling sedikit memuat:

    1. identitas Pembangun bendungan;

    2. lokasi bendungan yang dibangun;

    3. jenis dan tipe bendungan yang dibangun;

    4. rencana pengisian awal waduk;

    5. ketentuan hak dan kewajiban; dan

    6. data izin penggunaan sumber daya air.

  2. Dalam
    jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diterbitkannya izin pengisian awal
    waduk, Pembangun bendungan wajib melaksanakan pengisian awal waduk
    sesuai dengan rencana pengisian awal waduk sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) huruf d.

Pasal 64

  1. Berdasarkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, Pembangun bendungan melakukan pengisian awal waduk.

  2. Dalam
    waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum dilakukan pengisian awal
    waduk, Pembangun bendungan memberitahukan tanggal pelaksanaan pengisian
    awal waduk kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan
    kewenangannya.

Pasal 65

  1. Untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing), izin penempatan awal limbah tambang (tailing)
    diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
    bidang lingkungan hidup setelah mendapat rekomendasi dari instansi
    teknis keamanan bendungan dan instansi yang menyelenggarakan urusan
    pemerintahan di bidang pertambangan.

  2. Dalam hal bendungan penampung limbah tambang (tailing) tidak memerlukan sumber daya air, izin penempatan awal limbah tambang (tailing) tidak memuat izin penggunaan sumber daya air.

Pasal 66

  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin pengisian awal waduk dan izin penempatan awal limbah tambang (tailing) diatur dengan peraturan Menteri.

  2. Ketentuan
    lebih lanjut mengenai dana amanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
    ayat (7) diatur dengan peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan
    Menteri Keuangan.

Pasal 67

  1. Pengisian awal waduk dilaksanakan sesuai dengan rencana pelaksanaan pengisian awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a.

  2. Sebelum
    pelaksanaan pengisian awal waduk dimulai, Pembangun bendungan harus
    memberi tahu masyarakat sekitar daerah genangan waduk dalam jangka waktu
    paling lambat 7 (tujuh) hari.

  3. Selama pengisian awal
    waduk, Pembangun bendungan harus melakukan pemantauan, pengawasan, dan
    pengendalian sesuai dengan rencana pengisian awal waduk sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 42.

  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengisian awal waduk diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh
Kerja Sama Pembangunan Bendungan

Pasal 68

  1. Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan kerja sama pembangunan bendungan.

  2. Kerja
    sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan
    kepentingan provinsi dan/atau kabupaten/kota dalam wilayah sungai yang
    bersangkutan.

Pasal 69

  1. Pemerintah,
    pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan
    kerja sama pembangunan bendungan dengan badan usaha.

  2. Kerja
    sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian
    kerja sama pembangunan bendungan sesuai dengan ketentuan peraturan
    perundang-undangan.

Pasal 70

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kerja sama pembangunan bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Kedelapan
Pembangunan Bendungan Lain

Pasal 71

  1. Pembangunan
    bendungan selain bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
    dilakukan sesuai dengan tahapan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 7.

  2. Pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan oleh Pembangun bendungan kepada Menteri.

  3. Ketentuan
    mengenai persyaratan teknis, tata cara perizinan, persetujuan, dan
    pelaporan dalam pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    diatur dengan peraturan Menteri.

BAB III
PENGELOLAAN BENDUNGAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 72

  1. Pengelolaan bendungan beserta waduknya untuk pengelolaan sumber daya air ditujukan untuk menjamin:

    1. kelestarian fungsi dan manfaat bendungan beserta waduknya;

    2. efektivitas dan efisiensi pemanfaatan air; dan

    3. keamanan bendungan.

  2. Pengelolaan
    bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    dilaksanakan dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem dan daya dukung
    lingkungan hidup.

Pasal 73

Pengelolaan bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing) dan penampungan lumpur mengikuti ketentuan dalam peraturan pemerintah ini.

Pasal 74

  1. Pengelolaan bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dan Pasal 73 dapat berupa tahapan:

    1. operasi dan pemeliharaan;

    2. perubahan atau rehabilitasi; dan

    3. penghapusan fungsi bendungan.

  2. Pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui kegiatan:

    1. pelaksanaan rencana pengelolaan;

    2. operasi dan pemeliharaan;

    3. konservasi sumber daya air pada waduk;

    4. pendayagunaan waduk;

    5. pengendalian daya rusak air melalui pengendalian bendungan beserta waduknya; dan

    6. penghapusan fungsi bendungan.

  3. Kegiatan
    pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada
    bendungan beserta waduknya termasuk daerah sempadan waduk.

Pasal 75

  1. Pengelolaan bendungan beserta waduknya menjadi tanggung jawab Pemilik bendungan.

  2. Dalam

hal Pemerintah sebagai Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dalam pengelolaan bendungan beserta waduknya, Menteri menunjuk
unit pelaksana teknis yang membidangi sumber daya air atau badan usaha
milik negara sebagai Pengelola bendungan.

  • Pengelola
    bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam melaksanakan
    pengelolaan bendungan beserta waduknya, dibantu oleh unit pengelola
    bendungan.

  • Unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.

  • Dalam
    hal Pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
    badan usaha milik negara, penetapan unit pengelola bendungan dilakukan
    oleh direksi badan usaha milik negara.

  • Pasal 76

    1. Dalam
      hal pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota sebagai Pemilik
      bendungan, untuk pengelolaan bendungan beserta waduknya, gubernur atau
      bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menunjuk unit pelaksana
      teknis daerah yang membidangi sumber daya air atau badan usaha milik
      daerah sebagai Pengelola bendungan.

    2. Pengelola bendungan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam melaksanakan pengelolaan
      bendungan beserta waduknya, dibantu oleh unit pengelola bendungan.

    3. Unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota.

    Pasal 77

    1. Dalam
      hal badan usaha sebagai Pemilik bendungan, untuk pengelolaan bendungan
      beserta waduknya, Pemilik bendungan menetapkan Pengelola bendungan dan
      unit pengelola bendungan.

    2. Pemilik bendungan bertanggung jawab terhadap pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    Pasal 78

    1. Pemilik
      bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) yang
      menghentikan pengelolaan bendungan beserta waduknya harus menyerahkan
      pengelolaan bendungan beserta waduknya kepada Menteri, gubernur, atau
      bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

    2. Dalam hal
      Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyerahkan
      pengelolaan sampai dengan 6 (enam) bulan terhitung sejak pengelolaan
      bendungan dihentikan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
      dengan kewenangannya mengambil alih pengelolaan bendungan.

    3. Pemilik
      bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
      menyediakan biaya pengelolaan bendungan sampai dengan berakhirnya umur
      layan bendungan.

    4. Jumlah biaya pengelolaan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau
      bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan berpedoman pada
      peraturan perundang-undangan.

    5. Dalam hal sampai dengan
      berakhirnya umur layan bendungan, Pemilik bendungan tidak menyediakan
      biaya pengelolaan, bendungan beserta waduknya diambil alih oleh Menteri,
      gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan
      berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 79

    1. Unit
      pengelola bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2), Pasal
      76 ayat (2), dan Pasal 77 ayat (1) mempunyai tugas untuk melaksanakan
      pengelolaan bendungan beserta waduknya.

    2. Unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh kepala unit pengelola bendungan.

    3. Kepala unit pengelola bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan:

      1. memiliki
        sertifikat keahlian bidang bendungan yang dikeluarkan oleh lembaga yang
        berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

      2. memiliki kompetensi dalam pengelolaan bendungan beserta waduknya.

    4. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan prosedur pembentukan unit pengelola bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

    Bagian Kedua
    Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Bendungan

    Pasal 80

    Pelaksanaan
    rencana pengelolaan bendungan dilakukan sesuai dengan rencana
    pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf
    b.

    Pasal 81

    1. Pelaksanaan rencana pengelolaan bendungan dilakukan dengan memperhatikan kondisi sumber daya air dan lingkungan hidup.

    2. Dalam hal bendungan untuk pengelolaan sumber daya air, pelaksanaan rencana pengelolaan bendungan didasarkan pada:

      1. ketersediaan sumber daya air;

      2. kebutuhan air;

      3. pengendalian banjir; dan/atau

      4. kebutuhan daya air.

    3. Dalam hal bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur, pelaksanaan rencana pengelolaan bendungan didasarkan pada:

      1. jenis limbah tambang (tailing) atau jenis lumpur; dan

      2. volume limbah tambang (tailing) atau volume lumpur per satuan waktu.

    Bagian Ketiga
    Operasi dan Pemeliharaan

    Pasal 82

    1. Operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya terdiri atas:

      1. operasi dan pemeliharaan bendungan; dan

      2. pemeliharaan waduk.

    2. Dokumen
      laporan akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dipergunakan
      sebagai salah satu acuan dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan
      bendungan.

    3. Dalam hal bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing),
      dokumen laporan akhir atau laporan bertahap sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 41 ayat (2) digunakan sebagai salah satu acuan dalam pelaksanaan
      operasi dan pemeliharaan bendungan.

    Pasal 83

    1. Pelaksanaan operasi bendungan wajib dilakukan berdasarkan izin operasi bendungan yang dikeluarkan oleh Menteri.

    2. Izin
      operasi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
      berdasarkan permohonan yang diajukan oleh Pengelola bendungan.

    3. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.

    4. Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi dokumen:

      1. permohonan izin operasi bendungan;

      2. identitas Pengelola bendungan;

      3. keputusan pembentukan unit pengelola bendungan; dan

      4. izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    5. Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:

      1. data teknis bendungan;

      2. laporan pengisian awal waduk;

      3. laporan analisis perilaku bendungan;

      4. pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya; dan

      5. laporan kejadian khusus selama pengisian awal waduk.

    Pasal 84

    1. Menteri melakukan penilaian terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2).

    2. Menteri
      dalam melakukan penilaian terhadap substansi persyaratan teknis
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjuk instansi teknis keamanan
      bendungan untuk melakukan penilaian dan memberikan rekomendasi.

    3. Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.

    4. Dalam
      hal berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
      persyaratan teknis pengoperasian bendungan belum dipenuhi, Pengelola
      bendungan harus memperbaiki persyaratan teknis pengoperasian dan
      menyampaikan kembali perbaikan persyaratan teknis kepada Menteri dalam
      jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan izin
      dikembalikan kepada Pengelola bendungan.

    5. Dalam hal
      dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dokumen perbaikan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah memenuhi persyaratan teknis,
      Menteri memberikan izin operasi bendungan.

    Pasal 85

    Izin operasi bendungan paling sedikit memuat:

    1. identitas Pengelola bendungan;

    2. lokasi bendungan yang dibangun;

    3. maksud dan tujuan pembangunan bendungan;

    4. jenis dan tipe bendungan yang dibangun;

    5. rencana operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya; dan

    6. ketentuan hak dan kewajiban.

    Pasal 86

    Dalam hal bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing),
    izin operasi bendungan diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan
    urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup setelah mendapat
    rekomendasi dari instansi teknis keamanan bendungan dan instansi yang
    menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan.

    Pasal 87

    1. Operasi
      dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya dilakukan sesuai dengan
      rencana pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
      (1) huruf b.

    2. Operasi dan pemeliharaan bendungan beserta
      waduknya ditujukan untuk memfungsikan dan merawat bendungan beserta
      waduknya termasuk memantau perilaku bendungan dan volume waduk agar
      terjaga keamanan dan fungsinya.

    3. Untuk bendungan
      pengelolaan sumber daya air, pemantauan volume waduk sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan pengukuran sedimentasi waduk.

    4. Pengukuran sedimentasi waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

    Pasal 88

    1. Operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya harus dilakukan setiap saat.

    2. Dalam
      hal terjadi situasi luar biasa, operasi dan pemeliharaan bendungan
      beserta waduknya diutamakan untuk tujuan keamanan bendungan dan
      keselamatan lingkungan hidup.

    Pasal 89

    Pelaksanaan
    operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya untuk bendungan
    pengelolaan sumber daya air harus sesuai dengan pedoman operasi dan
    pemeliharaan bendungan beserta waduknya serta pola operasi waduk.

    Pasal 90

    Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing)
    atau penampung lumpur harus sesuai dengan pedoman operasi dan
    pemeliharaan bendungan beserta waduknya dan tata cara pengeluaran air
    dari waduk.

    Pasal 91

    Ketentuan lebih lanjut
    mengenai tata cara pemberian izin operasi bendungan dan pelaksanaan
    operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya diatur dengan
    peraturan Menteri.

    Bagian Keempat
    Konservasi Sumber Daya Air pada Waduk

    Paragraf 1
    Umum

    Pasal 92

    1. Konservasi
      sumber daya air pada waduk untuk pengelolaan sumber daya air ditujukan
      untuk menjaga kelangsungan keberadaan, daya dukung, daya tampung, dan
      fungsi sumber daya air pada waduk.

    2. Untuk mencapai tujuan konservasi sumber daya air pada waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kegiatan:

      1. perlindungan dan pelestarian waduk;

      2. pengawetan air; dan

      3. pengelolaan kualitas air dan pencemaran air.

    Paragraf 2
    Perlindungan dan Pelestarian Waduk

    Pasal 93

    1. Perlindungan
      dan pelestarian waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2)
      huruf a bertujuan untuk menjaga waduk agar terpelihara keberadaan,
      keberlanjutan serta menjaga fungsi waduk terhadap kerusakan atau
      gangguan yang disebabkan, baik oleh daya alam maupun tindakan manusia.

    2. Perlindungan
      dan pelestarian waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
      dengan cara menetapkan dan mengelola kawasan lindung waduk, vegetatif,
      dan/atau rekayasa teknik sipil melalui pendekatan sosial, ekonomi, dan
      budaya masyarakat sekitar.

    3. Perlindungan dan pelestarian waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

      1. pemeliharaan kelangsungan fungsi daerah tangkapan air;

      2. pengawasan penggunaan lahan pada daerah tangkapan air;

      3. pembuatan bangunan pengendali erosi dan sedimentasi;

      4. pengendalian pemanfaatan ruang pada waduk;

      5. pengendalian pengolahan tanah pada kawasan hulu waduk;

      6. pengaturan daerah sempadan waduk; dan

      7. peningkatan kesadaran, partisipasi, dan pemberdayaan pemilik kepentingan dalam pelestarian waduk dan lingkungannya.

    Pasal 94

    1. Pemeliharaan
      kelangsungan fungsi daerah tangkapan air sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 93 ayat (3) huruf a dilakukan pada kawasan hulu waduk.

    2. Dalam
      pemeliharaan kelangsungan fungsi daerah tangkapan air, Menteri,
      gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan:

      1. kawasan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air;

      2. norma, standar, dan prosedur pelestarian fungsi daerah tangkapan air;

      3. tata cara pengelolaan kawasan daerah tangkapan air;

      4. penyelenggaraan program pelestarian fungsi daerah tangkapan air; dan

      5. pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian fungsi daerah tangkapan air.

    3. Dalam
      hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, penyelenggaraan program
      pelestarian fungsi daerah tangkapan air dan pemberdayaan masyarakat
      dalam pelestarian fungsi daerah tangkapan air sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) huruf d dan huruf e dilakukan oleh Pemilik bendungan.

    4. Dalam
      pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemilik
      bendungan dapat meminta bantuan kepada Menteri, gubernur, atau
      bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk mengoordinasikan
      penyelenggaraannya.

    Pasal 95

    1. Pengawasan
      penggunaan lahan pada daerah tangkapan air sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 93 ayat (3) huruf b dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan
      urusan pemerintahan yang terkait dengan bidang sumber daya air,
      gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

    2. Dalam
      hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, pengawasan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan
      urusan pemerintahan yang terkait dengan bidang sumber daya air,
      gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya serta Pemilik
      bendungan.

    3. Dalam hal bendungan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dimiliki oleh badan usaha, Pemilik bendungan melakukan
      pemantauan penggunaan lahan pada daerah tangkapan air.

    4. Apabila
      dari hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menunjukkan
      terjadinya perubahan penggunaan lahan pada daerah tangkapan air, Pemilik
      bendungan harus melaporkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
      pemerintahan yang terkait dengan bidang sumber daya air, gubernur, atau
      bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

    Pasal 96

    1. Pembuatan
      bangunan pengendali erosi dan sedimentasi sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 93 ayat (3) huruf c menjadi tanggung jawab Menteri, gubernur, atau
      bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

    2. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan:

      1. lokasi bangunan pengendali erosi dan sedimentasi;

      2. pelaksanaan pembangunan pengendali erosi dan sedimentasi; dan

      3. pemberdayaan masyarakat dalam rangka pembangunan pengendali erosi dan sedimentasi.

    3. Dalam
      hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, pelaksanaan pembangunan
      pengendali erosi dan sedimentasi serta pemberdayaan masyarakat
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dilakukan oleh
      Pemilik bendungan.

    4. Dalam pelaksanaan pembangunan
      pengendali erosi dan sedimentasi serta pemberdayaan masyarakat
      sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemilik bendungan dapat meminta
      bantuan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
      kewenangannya untuk mengoordinasikan penyelenggaraannya.

    Pasal 97

    1. Pengendalian
      pemanfaatan ruang pada waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat
      (3) huruf d meliputi daerah genangan waduk dan daerah sempadan waduk.

    2. Dalam
      rangka pengendalian pemanfaatan ruang pada waduk sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
      kewenangannya menetapkan:

      1. pemanfaatan ruang pada waduk;

      2. pengelolaan ruang pada waduk; dan

      3. pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang pada waduk.

    3. Pemanfaatan ruang pada daerah genangan waduk hanya dapat dilakukan untuk:

      1. kegiatan pariwisata;

      2. kegiatan olahraga; dan/atau

      3. budi daya perikanan.

    4. Pemanfaatan ruang pada daerah sempadan waduk hanya dapat dilakukan untuk:

      1. kegiatan penelitian;

      2. kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan; dan/atau

      3. upaya mempertahankan fungsi daerah sempadan waduk.

    5. Penggunaan ruang di daerah sempadan waduk dilakukan dengan memperhatikan:

      1. fungsi waduk agar tidak terganggu oleh aktivitas yang berkembang di sekitarnya;

      2. kondisi sosial, ekonomi, dan budaya setiap daerah; dan

      3. daya rusak air waduk terhadap lingkungannya.

    6. Pemanfaatan
      ruang pada daerah genangan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
      daerah sempadan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat
      dilakukan berdasarkan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
      sesuai dengan kewenangannya setelah mendapat rekomendasi dari unit
      pelaksana teknis yang membidangi sumber daya air pada wilayah sungai
      yang bersangkutan.

    7. Menteri, gubernur, atau
      bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan pengawasan
      dan pemantauan pemanfaatan ruang.

    8. Pemanfaatan ruang untuk
      budi daya perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dengan
      menggunakan karamba atau jaring apung harus berdasarkan hasil kajian
      yang dilakukan oleh Pengelola bendungan.

    9. Hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (8) paling sedikit meliputi substansi:

      1. fungsi sumber air;

      2. daya tampung waduk;

      3. daya dukung lingkungan; dan

      4. tingkat kekokohan/daya tahan struktur bendungan beserta bangunan pelengkapnya.

    10. Hasil
      kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) sebagai dasar
      dalam pemberian izin pemanfaatan ruang untuk budi daya perikanan dengan
      menggunakan karamba atau jaring apung.

    11. Ketentuan lebih
      lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan serta pengkajian
      pemanfaatan ruang pada waduk diatur dengan peraturan Menteri.

    Pasal 98

    1. Dalam
      hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, pelaksanaan kegiatan
      pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat
      (4) huruf b serta upaya mempertahankan fungsi daerah sempadan waduk
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (4) huruf c dilakukan oleh
      Pemilik bendungan.

    2. Pelaksanaan kegiatan oleh Pemilik
      bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh
      Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

    Pasal 99

    1. Menteri,
      gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
      menyelenggarakan pengendalian pengolahan tanah pada kawasan hulu waduk
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf e.

    2. Penyelenggaraan
      pengendalian pengolahan tanah pada kawasan hulu waduk sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan:

      1. pencegahan kelongsoran;

      2. pengendalian laju erosi tanah;

      3. pengendalian tingkat sedimentasi pada waduk; dan/atau

      4. peningkatan peresapan air ke dalam tanah.

    3. Pengendalian
      pengolahan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
      memperhatikan kaidah konservasi dan fungsi lindung sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.

    4. Dalam hal Pemilik
      bendungan merupakan badan usaha, pelaksanaan kegiatan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemilik bendungan.

    5. Pelaksanaan
      kegiatan oleh Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
      dikoordinasikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
      dengan kewenangannya.

    Pasal 100

    1. Pengaturan
      daerah sempadan waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3)
      huruf f merupakan pengaturan kawasan perlindungan waduk.

    2. Kawasan
      perlindungan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ruang
      antara garis muka air waduk tertinggi dan garis sempadan waduk.

    3. Garis sempadan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan batas luar perlindungan waduk.

    Pasal 101

    1. Garis
      sempadan waduk ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
      sesuai dengan kewenangannya berdasarkan usulan dari Pengelola bendungan.

    2. Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada kriteria penetapan garis sempadan waduk.

    3. Kriteria penetapan garis sempadan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

      1. karakteristik waduk, dimensi waduk, morfologi waduk, dan ekologi waduk;

      2. operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya; dan

      3. tinggi jagaan bendungan.

    4. Ketentuan
      mengenai tata cara penetapan garis sempadan waduk dan pemanfaatan
      daerah sempadan waduk termasuk sabuk hijau waduk diatur dengan peraturan
      Menteri.

    Pasal 102

    1. Dalam
      rangka mempertahankan fungsi daerah sempadan waduk, Menteri, gubernur,
      atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan
      pengawasan dan pemantauan pelaksanaan pengaturan daerah sempadan waduk.

    2. Dalam
      hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, penyelenggaraan pengawasan
      dan pemantauan pengaturan daerah sempadan waduk sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dilakukan oleh Pemilik bendungan.

    3. Penyelenggaraan
      oleh Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      dikoordinasikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
      dengan kewenangannya.

    Pasal 103

    Untuk mempertahankan kawasan perlindungan waduk, setiap orang dilarang:

    1. membuang air limbah yang tidak memenuhi baku mutu, limbah padat, dan/atau limbah cair; dan/atau

    2. mendirikan
      bangunan dan memanfaatkan lahan yang dapat mengganggu aliran air,
      mengurangi kapasitas tampung waduk, atau tidak sesuai dengan
      peruntukannya

    Pasal 104

    1. Menteri,
      gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan
      upaya peningkatan kesadaran, partisipasi, dan pemberdayaan pemilik
      kepentingan dalam pelestarian waduk dan lingkungannya sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf g.

    2. Dalam hal
      Pemilik bendungan merupakan badan usaha, upaya peningkatan kesadaran,
      partisipasi, dan pemberdayaan pemilik kepentingan dalam pelestarian
      waduk dan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3)
      huruf g dilakukan oleh Pemilik bendungan.

    Paragraf 3
    Pengawetan Air

    Pasal 105

    1. Pengawetan
      air pada waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) huruf b
      ditujukan untuk memelihara keberadaan dan ketersediaan air atau
      kuantitas air sesuai dengan fungsi dan manfaatnya.

    2. Pengawetan air pada waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:

      1. menyimpan air yang berlebih pada waduk untuk dimanfaatkan pada waktu diperlukan;

      2. menghemat air melalui pemakaian yang efisien dan efektif; dan/atau

      3. mengendalikan penggunaan air pada waduk.

    Paragraf 4
    Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air

    Pasal 106

    1. Pengelolaan kualitas air dilakukan untuk mempertahankan atau memulihkan kualitas air yang masuk dan yang berada di dalam waduk.

    2. Pengelolaan
      kualitas air untuk air yang masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dilakukan oleh Pengelola bendungan melalui kegiatan perbaikan kualitas
      air.

    3. Pengelolaan kualitas air untuk air yang berada di
      dalam waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengelola
      bendungan melalui kegiatan:

      1. pemantauan kualitas air pada waduk terkait dengan pemanfaatan air dan kesehatan lingkungan;

      2. pengendalian kerusakan waduk;

      3. aerasi pada waduk;

      4. pemanfaatan organisme dan mikroorganisme yang dapat menyerap bahan pencemar pada waduk; dan

      5. pengendalian gulma air.

    Pasal 107

    1. Pengendalian pencemaran air dilakukan untuk mempertahankan kualitas air yang masuk dan yang berada di dalam waduk.

    2. Pengendalian
      pencemaran air untuk air yang masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dilakukan oleh Pengelola bendungan melalui kegiatan pencegahan masuknya
      pencemar ke dalam air yang akan masuk ke waduk.

    3. Pengendalian
      pencemaran air untuk air yang berada di dalam waduk sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengelola bendungan melalui
      kegiatan:

      1. pencegahan masuknya pencemar ke dalam waduk; dan

      2. penanggulangan pencemaran air pada waduk.

    Bagian Kelima
    Pendayagunaan Waduk

    1. Pendayagunaan
      waduk untuk pengelolaan sumber daya air ditujukan untuk meningkatkan
      kemanfaatan sumber daya air guna kepentingan wilayah sekitar atau
      lingkungan waduk serta pada kawasan hilir waduk.

    2. Pendayagunaan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendayagunaan ruang waduk untuk:

      1. penyimpanan air; dan

      2. pengendalian banjir.

    3. Pendayagunaan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui kegiatan:

      1. penatagunaan waduk;

      2. penyediaan air dan/atau daya air pada waduk;

      3. penggunaan atau pengusahaan air dan/atau daya air pada waduk; dan

      4. pengusahaan kawasan bendungan beserta waduknya.

    Pasal 109

    Pendayagunaan waduk untuk penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur ditujukan untuk penyediaan ruang waduk guna penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur.

    Pasal 110

    1. Penatagunaan
      waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) huruf a dilakukan
      apabila terjadi perubahan ruang dalam waduk akibat adanya sedimen
      dan/atau pemanfaatan air waduk dan daya air waduk untuk keperluan lain.

    2. Penatagunaan
      waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menetapkan
      zona pemanfaatan waduk dan peruntukan air pada waduk.

    Pasal 111

    1. Zona
      pemanfaatan waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2)
      meliputi ruang waduk sampai dengan garis sempadan waduk sebagai fungsi
      lindung dan fungsi budi daya.

    2. Zona pemanfaatan waduk
      ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
      kewenangannya berdasarkan usulan Pengelola bendungan.

    3. Penetapan zona sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:

      1. fluktuasi air yang dipengaruhi oleh musim;

      2. kepentingan berbagai jenis pemanfaatan;

      3. peran masyarakat sekitar waduk dan pihak lain yang berkepentingan;

      4. fungsi kawasan dan fungsi waduk; dan

      5. keamanan bendungan beserta bangunan pelengkap.

    Pasal 112

    1. Peruntukan
      air pada waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) ditetapkan
      oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
      kewenangannya berdasarkan usulan Pengelola bendungan.

    2. Penetapan peruntukan air pada waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:

      1. daya tampung waduk;

      2. perhitungan dan proyeksi aliran air masuk waduk; dan

      3. kebutuhan air dan/atau daya air.

    Pasal 113

    1. Penyediaan
      air dan/atau daya air pada waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
      ayat (3) huruf b ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan air dan daya air
      sesuai tujuan pengelolaan bendungan beserta waduknya.

    2. Penyediaan air dan daya air dilaksanakan sesuai dengan pola operasi waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.

    Pasal 114

    1. Penggunaan
      atau pengusahaan air dan/atau daya air pada waduk sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 108 ayat (3) huruf c ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan air
      dan/atau daya air sesuai dengan tujuan pembangunan bendungan beserta
      waduknya.

    2. Penggunaan atau pengusahaan air dan/atau daya
      air pada waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
      pedoman operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya termasuk
      pola operasi waduk.

    Pasal 115

    1. Penggunaan
      atau pengusahaan air dan/atau daya air pada waduk oleh selain Pemilik
      atau Pengelola bendungan harus mendapat izin penggunaan sumber daya air
      untuk penggunaan atau pengusahaan air dan/atau daya air dari Menteri,
      gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

    2. Pemberian
      izin penggunaan sumber daya air atau pengusahaan air dan/atau daya air
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:

      1. sesuai dengan zona pemanfaatan dan peruntukan air pada waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2);

      2. sesuai
        dengan rekomendasi teknis dari unit pelaksana teknis yang membidangi
        sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan; dan

      3. menjamin keamanan dan kelestarian bendungan.

    3. Pemberian
      rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan
      oleh unit pelaksana teknis berdasarkan pertimbangan tertulis dari
      Pengelola bendungan.

    Pasal 116

    1. Pengusahaan
      kawasan bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
      ayat (3) huruf d merupakan pemanfaatan kawasan bendungan beserta
      waduknya.

    2. Pengusahaan kawasan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial, daya dukung
      lingkungan hidup, kesehatan lingkungan, dan kelestarian fungsi
      lingkungan hidup.

    3. Pengusahaan kawasan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan atau badan
      usaha, atau kerja sama antar badan usaha berdasarkan persetujuan
      pengusahaan dari Pemilik bendungan.

    4. Dalam hal bendungan
      dimiliki oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah
      kabupaten/kota, pengusahaan kawasannya dilakukan sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.

    5. Ketentuan lebih lanjut
      mengenai tata cara pengajuan permohonan pengusahaan kawasan bendungan
      beserta waduknya diatur dengan peraturan Menteri.

    Bagian Keenam
    Pengendalian Daya Rusak Air

    Pasal 117

    1. Pengendalian daya rusak air melalui pengendalian bendungan beserta waduknya meliputi:

      1. pengendalian terhadap keutuhan fisik dan keamanan bendungan; dan

      2. pengendalian terhadap fungsi bendungan beserta waduknya.

    2. Pengendalian
      daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
      peringatan dini pada wilayah sungai yang bersangkutan.

    Pasal 118

    1. Pengendalian
      daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) terutama
      dilakukan dengan mengurangi besaran banjir agar daya rusak air
      terkendali.

    2. Pengendalian daya rusak air dilakukan dengan cara mengatur pembukaan dan penutupan pintu bendungan.

    3. Pembukaan
      pintu bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk
      mengatur pelepasan air guna pengendalian daya rusak air pada kawasan
      hilir.

    4. Pelepasan air sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
      harus tetap memperhatikan keperluan pencegahan kegagalan bendungan
      terkait ruang waduk untuk pengendalian banjir.

    5. Pembukaan
      dan penutupan pintu bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      dilakukan berdasarkan pedoman operasi bendungan pada bendungan yang
      bersangkutan.

    Pasal 119

    Dalam hal pelepasan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (4) pada bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing),
    air yang akan dialirkan ke perairan umum harus memenuhi baku mutu air
    sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
    hidup.

    Pasal 120

    Pengendalian daya rusak
    air yang dilakukan karena terjadinya kegagalan bendungan, pelaksanaannya
    harus berdasarkan rencana tindak darurat dan pedoman operasi bendungan
    pada bendungan yang bersangkutan.

    Bagian Ketujuh
    Perubahan atau Rehabilitasi

    Pasal 121

    1. Perubahan bendungan ditujukan untuk keamanan bendungan dan meningkatkan fungsi bendungan.

    2. Perubahan bendungan dilakukan dengan cara melakukan perubahan struktur bendungan.

    3. Dalam
      hal diperlukan perubahan bendungan untuk tindakan pengamanan bendungan,
      Pengelola bendungan wajib melakukan perubahan struktur bendungan.

    4. Dalam hal diperlukan peningkatan fungsi bendungan, Pengelola bendungan dapat melakukan perubahan struktur bendungan.

    Pasal 122

    1. Dalam
      melakukan perubahan struktur bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      121 ayat (2), Pengelola bendungan harus terlebih dahulu memperoleh
      persetujuan desain perubahan bendungan dari Menteri.

    2. Persetujuan
      desain perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
      berdasarkan permohonan dari Pengelola bendungan dan rekomendasi dari
      instansi teknis keamanan bendungan.

    Pasal 123

    1. Rehabilitasi
      bendungan merupakan tindakan perbaikan yang meliputi perekayasaan,
      pelaksanaan perbaikan, dan uji perilaku bendungan yang mengalami
      kerusakan.

    2. Dalam hal diperlukan tindakan pengamanan bendungan, Pengelola bendungan wajib melakukan rehabilitasi bendungan.

    3. Dalam
      melakukan rehabilitasi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
      Pengelola bendungan harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan desain
      rehabilitasi dari Menteri.

    4. Persetujuan desain
      rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan berdasarkan
      permohonan dari Pengelola bendungan dan rekomendasi dari instansi teknis
      keamanan bendungan.

    Pasal 124

    1. Pelaksanaan
      perubahan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dan
      pelaksanaan rehabilitasi bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123
      dilakukan setelah memperoleh izin perubahan atau izin rehabilitasi
      bendungan dari Menteri.

    2. Izin perubahan atau izin
      rehabilitasi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
      berdasarkan permohonan dari Pengelola bendungan.

    3. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.

    4. Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi dokumen:

      1. surat permohonan izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan;

      2. identitas Pengelola bendungan; dan

      3. izin atau persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    5. Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa dokumen:

      1. persetujuan desain perubahan bendungan atau persetujuan desain rehabilitasi bendungan; dan

      2. dokumen pengelolaan lingkungan hidup.

    6. Berdasarkan
      permohonan izin perubahan atau rehabilitasi bendungan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2), Menteri memberikan izin atau menolak permohonan
      izin dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak dokumen
      persyaratan lengkap.

    7. Penolakan permohonan izin perubahan
      atau izin rehabilitasi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
      harus disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan penolakan.

    Pasal 125

    Izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing),
    diberikan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi teknis dari instansi
    yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan
    di bidang pertambangan.

    Pasal 126

    1. Izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan paling sedikit memuat:

      1. identitas Pengelola bendungan;

      2. lokasi bendungan yang akan dilakukan perubahan atau rehabilitasi bendungan;

      3. jenis dan tipe bendungan yang akan dilakukan perubahan atau rehabilitasi bendungan;

      4. gambar dan spesifikasi teknis;

      5. jadwal pelaksanaan perubahan atau rehabilitasi bendungan;

      6. metode pelaksanaan perubahan atau rehabilitasi bendungan;

      7. ketentuan hak dan kewajiban; dan

      8. jangka waktu berlakunya izin.

    2. Dalam
      jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya izin perubahan atau
      izin rehabilitasi bendungan, Pengelola bendungan wajib melaksanakan
      perubahan atau rehabilitasi bendungan sesuai dengan jadwal pelaksanaan
      perubahan atau rehabilitasi bendungan.

    3. Dalam hal terjadi
      keadaan tertentu yang mengakibatkan perubahan atau rehabilitasi
      bendungan tidak dapat dipenuhi sesuai dengan jadwal pelaksanaan
      perubahan atau rehabilitasi bendungan, pemberi izin dapat memberikan
      perpanjangan waktu izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan.

    Pasal 127

    Pelaksanaan perubahan atau rehabilitasi bendungan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

    Pasal 128

    Ketentuan
    lebih lanjut mengenai tata cara perubahan atau rehabilitasi bendungan
    dan pemberian izin perubahan atau izin rehabilitasi bendungan diatur
    dengan peraturan Menteri.

    Bagian Kedelapan
    Penghapusan Fungsi Bendungan

    Pasal 129

    1. Bendungan
      yang tidak mempunyai manfaat lagi atau terjadi kegagalan bendungan yang
      mengancam keselamatan masyarakat, Pemilik bendungan wajib melakukan
      penghapusan fungsi bendungan.

    2. Penghapusan fungsi
      bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara
      membongkar bendungan oleh Pemilik bendungan.

    3. Dalam hal
      Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melaksanakan
      pembongkaran bendungan, pembongkaran bendungan dilakukan oleh Menteri,
      gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

    4. Biaya untuk pelaksanaan pembongkaran bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi tanggung jawab Pemilik bendungan.

    Pasal 130

    1. Dalam
      hal pembongkaran bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat
      (2) dapat menimbulkan bahaya terhadap keamanan dan kelestarian fungsi
      lingkungan, baik di sekitar kawasan bendungan maupun hilir bendungan,
      Pemilik bendungan wajib mempertahankan fisik bendungan.

    2. Dalam
      mempertahankan fisik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
      Pemilik bendungan wajib menjaga, memelihara, dan mempertahankan keamanan
      bendungan serta lingkungannya.

    Pasal 131

    1. Penghapusan
      fungsi bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) dan
      Pasal 130 ayat (1) dilakukan berdasarkan izin penghapusan fungsi
      bendungan dari Menteri.

    2. Izin penghapusan fungsi bendungan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan rekomendasi
      dari instansi teknis keamanan bendungan dan instansi terkait lainnya.

    Pasal 132

    1. Dalam
      hal fungsi bendungan telah dihapus, Pemilik bendungan bertanggung jawab
      terhadap bahaya yang ditimbulkan akibat penghapusan fungsi bendungan.

    2. Dalam
      pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemilik
      bendungan wajib menyelenggaraan pengelolaan pasca penghapusan fungsi
      bendungan.

    Pasal 133

    Dalam hal
    bendungan yang dihapus fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129
    ayat (2) dan Pasal 130 ayat (1) merupakan barang milik negara/daerah,
    penghapusannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
    perundang-undangan.

    Pasal 134

    Ketentuan
    lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan fungsi bendungan, tata cara
    pemberian izin penghapusan fungsi bendungan, dan pengelolaan pasca
    penghapusan fungsi bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

    Bagian Kesembilan
    Kerja Sama Pengelolaan Bendungan

    Pasal 135

    1. Dalam
      pengelolaan bendungan beserta waduknya, Pemerintah, pemerintah
      provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan badan usaha dapat melakukan
      kerja sama.

    2. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:

      1. memperhatikan
        kepentingan Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah
        kabupaten/kota dalam wilayah sungai yang bersangkutan;

      2. dituangkan dalam perjanjian kerja sama pengelolaan bendungan beserta waduknya; dan

      3. dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 136

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kerja sama pengelolaan bendungan beserta waduknya diatur dengan peraturan Menteri.

    Bagian Kesepuluh
    Pengelolaan Bendungan Lain

    Pasal 137

    1. Pengelolaan
      bendungan selain bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
      dilakukan sesuai dengan tahapan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 74.

    2. Pelaksanaan pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Menteri.

    3. Ketentuan
      mengenai persyaratan teknis, tata cara perizinan, persetujuan dan
      pelaporan dalam pengelolaan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      diatur dengan peraturan Menteri.

    BAB IV
    KEAMANAN BENDUNGAN

    Bagian Kesatu
    Umum

    Pasal 138

    1. Keamanan
      bendungan ditujukan untuk melindungi bendungan dari kegagalan bendungan
      dan melindungi jiwa, harta, serta prasarana umum yang berada di wilayah
      yang terpengaruh oleh potensi bahaya akibat kegagalan bendungan.

    2. Keamanan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

      1. penyelenggara keamanan;

      2. penyelenggaraan keamanan; dan

      3. tanggung jawab kegagalan bendungan.

    Bagian Kedua
    Penyelenggara Keamanan Bendungan

    Pasal 139

    Penyelenggara keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) huruf a terdiri atas:

    1. instansi teknis keamanan bendungan;

    2. unit pelaksana teknis bidang keamanan bendungan; dan

    3. Pembangun bendungan dan Pengelola bendungan.

    Pasal 140

    1. Instansi teknis keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf a bertugas:

      1. melakukan pengkajian terhadap hasil evaluasi keamanan bendungan;

      2. memberikan rekomendasi mengenai keamanan bendungan; dan

      3. menyelenggarakan inspeksi bendungan.

    2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi teknis keamanan bendungan menyelenggarakan fungsi:

      1. pemberian
        rekomendasi kepada Menteri dalam rangka pemberian persetujuan desain,
        izin pengisian awal, izin operasi, persetujuan desain perubahan atau
        persetujuan desain rehabilitasi, dan izin penghapusan fungsi bendungan;

      2. pemberian
        rekomendasi kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
        bidang lingkungan hidup dalam rangka pemberian izin penempatan awal
        limbah tambang (tailing) dan izin operasi untuk bendungan penampung limbah tambang (tailing);

      3. pengkajian terhadap hasil kegiatan yang dilakukan oleh unit pelaksana teknis bidang keamanan bendungan; dan

      4. penyelenggaraan inspeksi bendungan.

    3. Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja instansi teknis keamanan bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

    Pasal 141

    1. Unit
      pelaksana teknis bidang keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 139 huruf b bertugas memberikan dukungan teknis keamanan bendungan
      kepada instansi teknis keamanan bendungan.

    2. Dalam
      memberikan dukungan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), unit
      pelaksana teknis bidang keamanan bendungan melakukan kegiatan:

      1. pengumpulan dan pengolahan data;

      2. pengkajian bendungan dan analisis perilaku bendungan;

      3. penyelenggaraan inspeksi bendungan;

      4. penyiapan saran teknis bendungan; dan

      5. inventarisasi dan registrasi bendungan serta klasifikasi bahaya bendungan.

    3. Unit pelaksana teknis bidang keamanan bendungan ditetapkan oleh Menteri.

    Pasal 142

    Pembangun
    bendungan dan Pengelola bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139
    huruf c bertugas melakukan evaluasi keamanan bendungan dan pemantauan
    serta pemeriksaan kondisi bendungan.

    Bagian Ketiga
    Penyelenggaraan Keamanan Bendungan

    Pasal 143

    Penyelenggaraan keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) huruf b meliputi:

    1. evaluasi keamanan bendungan;

    2. pemantauan dan pemeriksaan terhadap kondisi bendungan; dan

    3. penyelenggaraan inspeksi bendungan.

    Pasal 144

    1. Evaluasi keamanan bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 huruf a dilakukan terhadap:

      1. perencanaan pembangunan bendungan;

      2. pelaksanaan konstruksi;

      3. pengisian awal waduk;

      4. operasi dan pemeliharaan;

      5. perubahan atau rehabilitasi; dan

      6. kondisi bendungan pasca penghapusan fungsi bendungan.

    2. Evaluasi
      keamanan bendungan dan pemantauan serta pemeriksaan kondisi bendungan
      yang dilakukan oleh Pembangun bendungan atau Pengelola bendungan
      hasilnya disampaikan kepada instansi teknis keamanan bendungan.

    3. Instansi
      teknis keamanan bendungan melakukan pengkajian atas hasil evaluasi
      keamanan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

    4. Berdasarkan
      pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), instansi teknis keamanan
      bendungan menyusun rekomendasi sebagai dasar bagi Menteri dalam
      pemberian persetujuan dan/atau izin pada tahap pembangunan dan
      pengelolaan bendungan.

    5. Ketentuan lebih lanjut mengenai
      tata cara pelaksanaan evaluasi dan pengkajian evaluasi keamanan
      bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

    Pasal 145

    1. Pemantauan
      dan pemeriksaan terhadap kondisi bendungan dan penyelenggaraan inspeksi
      bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 huruf b dan huruf c
      ditujukan untuk mengetahui secara dini permasalahan atau apabila
      terdapat gejala kegagalan bendungan dan status keamanan bendungan.

    2. Penyelenggaraan inspeksi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:

      1. penelitian terhadap kondisi fisik bendungan dan bangunan pelengkapnya; dan

      2. pengecekan instrumen bendungan.

    3. Penyelenggaraan
      inspeksi bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas
      inspeksi tahunan, inspeksi besar, dan inspeksi khusus/luar biasa.

    4. Inspeksi besar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

    5. Inspeksi khusus/luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila terjadi kejadian luar biasa.

    6. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemantauan, pemeriksaan, dan inspeksi bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

    Bagian Keempat
    Tanggung Jawab Kegagalan Bendungan

    Pasal 146

    1. Dalam hal terjadi kegagalan bendungan yang diakibatkan karena kesalahan:

      1. perencanaan, tanggung jawab kegagalan bendungan menjadi tanggung jawab perencana;

      2. pelaksanaan
        konstruksi, tanggung jawab kegagalan bendungan menjadi tanggung jawab
        pelaksana konstruksi dan/atau pengawas konstruksi;

      3. pengisian
        awal waduk, tanggung jawab kegagalan bendungan menjadi tanggung jawab
        perencana, pelaksana konstruksi, pengawas konstruksi, dan/atau Pembangun
        bendungan; dan

      4. pengelolaan, tanggung jawab kegagalan bendungan menjadi tanggung jawab Pengelola bendungan.

    2. Tanggung
      jawab perencana, pelaksana konstruksi, pengawas konstruksi, Pembangun
      bendungan, dan Pengelola bendungan dilakukan sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.

    3. Ketentuan mengenai kriteria dan tolok ukur kegagalan bendungan diatur dengan peraturan Menteri.

    Pasal 147

    1. Kegagalan
      bendungan dinilai dan ditetapkan bersama oleh tim penilai ahli yang
      profesional dan kompeten dalam bidang yang berkaitan dengan bendungan
      serta bersifat independen dan mampu memberikan penilaian secara
      obyektif.

    2. Tim penilai ahli dipilih oleh Pembangun
      bendungan atau Pengelola bendungan bersama dengan perencana dan
      pelaksana konstruksi dan ditetapkan oleh Pemilik bendungan.

    3. Tim
      penilai ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditetapkan paling
      lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya laporan mengenai terjadinya
      kegagalan bendungan.

    4. Tim penilai ahli harus melaporkan hasil penilaiannya kepada pihak yang menetapkannya dan tembusannya disampaikan kepada Menteri.

    5. Menteri
      berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila kegagalan bendungan
      mengakibatkan kerugian dan/atau menimbulkan gangguan pada keselamatan
      umum.

    6. Pelaksanaan tugas tim penilai ahli kegagalan bendungan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    BAB V
    PEMBIAYAAN

    Pasal 148

    1. Pembiayaan bendungan beserta waduknya meliputi biaya:

      1. pembangunan bendungan; dan

      2. pengelolaan bendungan beserta waduknya.

    2. Biaya pembangunan bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi biaya:

      1. persiapan pembangunan;

      2. perencanaan pembangunan;

      3. pengadaan tanah;

      4. pemindahan dan pemukiman kembali penduduk;

      5. persiapan pelaksanaan konstruksi;

      6. pelaksanaan konstruksi dan pengawasan konstruksi; dan

      7. pengisian awal waduk.

    3. Biaya pengelolaan bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi biaya:

      1. operasi dan pemeliharaan;

      2. konservasi pada waduk;

      3. perubahan bendungan atau rehabilitasi bendungan;

      4. penghapusan fungsi bendungan; dan

      5. pengelolaan pasca penghapusan fungsi bendungan.

    Pasal 149

    1. Biaya pembangunan bendungan dan biaya pengelolaan bendungan beserta waduknya disediakan oleh Pemilik bendungan.

    2. Dalam
      hal Pemilik bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
      Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota, biaya
      pembangunan bendungan dan biaya pengelolaan bendungan beserta waduknya
      dapat bersumber dari:

      1. anggaran pendapatan dan belanja negara;

      2. anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi;

      3. anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota; dan/atau

      4. sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 150

    1. Dalam
      hal badan usaha selaku Pemilik bendungan menyerahkan pengelolaan
      bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1), Pemilik
      bendungan harus menyediakan biaya pengelolaan dalam bentuk dana amanah.

    2. Dana
      amanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diserahkan oleh Pemilik
      bendungan sebelum bendungan beserta waduknya diserahkan.

    3. Pelaksanaan
      mengenai dana amanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
      sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 151

    Ketentuan
    lebih lanjut mengenai dana amanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150
    diatur dengan peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan Menteri
    Keuangan.

    BAB VI
    DOKUMENTASI DAN INFORMASI

    Pasal 152

    1. Pemilik
      bendungan, Pengelola bendungan, unit pengelola bendungan, dan unit
      pelaksana teknis bidang keamanan bendungan harus menyimpan dan
      memelihara dokumen pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan
      beserta waduknya.

    2. Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen:

      1. perencanaan;

      2. pengelolaan lingkungan hidup;

      3. pengadaan tanah;

      4. pelaksanaan konstruksi termasuk gambar terbangun;

      5. petunjuk operasi dan pemeliharaan, pemantauan perilaku bendungan, riwayat operasi bendungan, serta rencana tindak darurat; dan

      6. laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan.

    3. Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun sejak penghapusan fungsi bendungan.

    4. Dokumen
      yang telah mencapai waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
      diserahkan Pemilik bendungan kepada instansi yang menyelenggarakan
      urusan penyimpanan arsip secara nasional atau daerah.

    Pasal 153

    1. Pengelola
      bendungan harus menyampaikan laporan secara berkala mengenai informasi
      kondisi bendungan beserta waduknya kepada instansi terkait.

    2. Informasi kondisi bendungan beserta waduknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

      1. perilaku struktural dan operasional;

      2. hasil pembacaan instrumen beserta interpretasinya, hasil inspeksi, dan evaluasi keamanan;

      3. perubahan atau rehabilitasi;

      4. kejadian yang berhubungan dengan keamanan bendungan dan kejadian luar biasa; dan

      5. kondisi air waduk termasuk alokasi air.

    Pasal 154

    1. Pengelola bendungan harus menyelenggarakan sistem informasi bendungan beserta waduknya yang dapat diakses oleh masyarakat.

    2. Dalam menyelenggarakan sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengelola bendungan melakukan:

      1. pengumpulan, pengolahan, dan penyediaan data dan informasi bendungan beserta waduknya; dan

      2. pemutakhiran informasi bendungan beserta waduknya secara berkala.

    BAB VII
    PENGAWASAN

    Pasal 155

    1. Menteri,
      gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya serta
      masyarakat melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pembangunan
      bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.

    2. Pengawasan
      oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap
      pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya yang
      dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
      kabupaten/kota, dan badan usaha.

    3. Pengawasan oleh gubernur
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pembangunan
      bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya yang dilaksanakan
      oleh pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan badan usaha.

    4. Pengawasan
      oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
      terhadap pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta
      waduknya yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan badan
      usaha.

    5. Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dilakukan terhadap pembangunan bendungan dan pengelolaan
      bendungan beserta waduknya yang diwujudkan dalam bentuk laporan atau
      pengaduan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.

    6. Menteri,
      gubernur, atau bupati/walikota menindaklanjuti laporan hasil pengawasan
      atau pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk perbaikan dan
      penyempurnaan penyelenggaraan pembangunan bendungan dan pengelolaan
      bendungan beserta waduknya.

    BAB VIII
    PERAN MASYARAKAT

    Pasal 156

    1. Masyarakat
      mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses pembangunan
      bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya.

    2. Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara:

      1. memberikan masukan dan saran dalam pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya;

      2. mengikuti program pemberdayaan masyarakat; dan/atau

      3. mengikuti pertemuan konsultasi publik dan sosialisasi.

    3. Dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat mempunyai hak untuk:

      1. memperoleh informasi mengenai pembangunan bendungan dan bendungan beserta waduknya;

      2. menyatakan
        keberatan terhadap rencana pembangaunan bendungan dan pengelolaan
        bendungan beserta waduknya yang sudah diumumkan disertai alasannya;

      3. memperoleh manfaat atas pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya;

      4. mengajukan
        pengaduan kepada Pembangun bendungan atau Pengelola bendungan atas
        kerugian yang menimpa dirinya berkaitan dengan penyelenggaraan
        pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya;
        dan/atau

      5. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap
        berbagai masalah akibat pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan
        beserta waduknya yang merugikan kehidupannya.

    BAB IX
    SANKSI ADMINISTRATIF

    Pasal 157

    1. Pembangun
      bendungan yang melakukan pelaksanaan konstruksi tanpa izin pelaksanaan
      konstruksi yang diberikan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      29 ayat (1) dikenai sanksi berupa penghentian pelaksanaan konstruksi
      oleh Menteri.

    2. Pembangun bendungan yang tidak melakukan
      pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1)
      dikenai sanksi berupa pencabutan izin pelaksanaan konstruksi oleh
      Menteri.

    3. Pembangun bendungan yang melakukan pengisian
      awal waduk tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2)
      dikenai sanksi berupa penghentian pengisian awal waduk oleh Menteri.

    4. Pembangun
      bendungan yang tidak melakukan pengisian awal waduk sampai dengan
      jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dikenai sanksi
      berupa pencabutan izin pengisian awal waduk oleh Menteri.

    5. Pengelola
      bendungan yang tidak melakukan perubahan struktur bendungan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 121 ayat (3) atau tidak melakukan rehabilitasi
      bendungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) dikenai sanksi
      berupa pencabutan izin operasi bendungan.

    6. Pengelola
      bendungan yang melakukan perubahan bendungan atau rehabilitasi bendungan
      tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) dikenai sanksi
      berupa penghentian kegiatan pelaksanaan perubahan bendungan atau
      rehabilitasi bendungan.

    Pasal 158

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 diatur dengan peraturan Menteri.

    BAB X
    KETENTUAN PERALIHAN

    Pasal 159

    1. Persetujuan
      atau izin yang berkaitan dengan pembangunan dan pengelolaan bendungan
      yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya peraturan pemerintah ini
      dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir.

    2. Pengelolaan
      bendungan yang telah dilaksanakan sebelum ditetapkannya peraturan
      pemerintah ini yang belum dilengkapi dengan persetujuan dan perizinan,
      izin operasi bendungan harus dipenuhi paling lambat 2 (dua) tahun
      setelah peraturan pemerintah ini ditetapkan.

    BAB XI
    KETENTUAN PENUTUP

    Pasal 160

    Pada
    saat peraturan pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan
    perundang-undangan yang secara hierarki berada di bawah peraturan
    pemerintah yang berkaitan dengan bendungan tetap berlaku sepanjang tidak
    bertentangan dengan peraturan pemerintah ini.

    Pasal 161

    Peraturan pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

    Agar
    setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan
    pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
    Indonesia.

    Demikianlah isi Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun
    2010 tentang Bendungan yang ditetapkan Presiden Dr. H. Susilo Bambang
    Yudhoyono pada tanggal 18 Februari 2010 di Jakarta. Peraturan Pemerintah
    Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan diundangkan Menteri Hukum dan Hak
    Asasi Manusia Patrialis Akbar pada tanggal 18 Februari 2010 di Jakarta.

    Peraturan
    Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan ditempatkan pada
    Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 45. Penjelasan Atas
    Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan ditempatkan
    pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5117. Agar setiap
    orang mengetahuinya.

    Penutup

    Sekian Penjelasan Singkat Mengenai PP 37 tahun 2010 tentang Bendungan. Semoga Bisa Menambah Pengetahuan Kita Semua.

    Posting Komentar

    pengaturan flash sale

    gambar flash sale

    Promo

    gambar flash sale